Kisah Nyata: Hutang Keluarga Menjerumuskan Ku “Langkah Pertama yang Menghancurkan” (Bagian 2)

Sabtu 19-04-2025,15:30 WIB
Reporter : juliirawan
Editor : juliirawan

Reporter: Juli Irawan 

Radarseluma.disway.id - Malam itu, aku berdiri kaku di depan cermin kamar kecil milik Lela. Gaun hitam yang ia pinjamkan tampak begitu kontras dengan kulitku yang pucat. Aku tak mengenali bayanganku sendiri. Make-up tebal membentuk wajah baru yang asing, rambut disanggul tinggi seperti wanita kota, dan parfum mahal membalut tubuhku, menyamarkan aroma tubuh seorang gadis kampung yang terbiasa berkeringat saat mencuci baju dan menjaga warung kecil di rumah. Aku, Nisa, berubah menjadi seseorang yang bahkan tak berani ku tatap terlalu lama.

Lela menghampiriku, menepuk pundakku pelan. “Tenang aja, Nis. Klien malam ini baik kok. Dia bukan tipe yang kasar. Orangnya rapi, sopan, dan nggak macem-macem. Kamu cuma temenin dia makan malam. Sisanya... kamu yang tentuin sendiri.”

Aku hanya mengangguk. Lidahku kelu. Aku ingin bertanya banyak hal, ingin tahu apa yang akan terjadi, ingin memohon agar bisa kembali saja ke rumah. Tapi suara-suara itu hanya bergema dalam batin. Di luar, aku sudah membuat keputusan yang tak bisa ditarik kembali.

BACA JUGA:Kisah Nyata: Hutang Keluarga Menjerumuskan Ku “Awal dari Semua Beban” (Bagian 1)

Sebuah mobil sedan hitam berhenti di depan rumah kontrakan Lela. Sopir membukakan pintu. Aku melangkah masuk dengan lutut gemetar. Di dalam, duduk seorang pria paruh baya, berusia sekitar empat puluh tahun. Rambutnya disisir rapi ke belakang, mengenakan jas elegan dan arloji yang terlihat mahal. Parfumnya menyengat, memaksa hidungku mencium aroma kekuasaan dan kendali.

“Namamu siapa?” tanyanya dengan nada tenang, seolah ini hanya makan malam biasa.

“Nisa,” jawabku lirih, nyaris tak terdengar.

Ia tersenyum. Senyumnya bukan senyum ramah seperti ayahku ketika menatap ibu. Senyum itu penuh rahasia. Ada sesuatu yang disembunyikan di balik sorot matanya sesuatu yang membuat perutku terasa mual.

“Kita makan malam dulu, ya. Tenang aja. Aku suka yang lembut-lembut. No pressure,” katanya sambil menatapku dari ujung kaki hingga kepala.

Kata-katanya seharusnya menenangkan, tapi justru membuatku merasa semakin tercekik. Aku ingin kabur. Tapi pikiranku kembali pada ayah yang sedang terbaring lemah di rumah, pada ibu yang tiap malam menangis diam-diam karena tak bisa membayar utang warung, dan pada adik-adikku yang tidur dengan perut kosong.

BACA JUGA:Gadis Pinggiran Kota: Kisah Awal Terjerumus Dunia Malam Part Satu

Makan malam itu terasa seperti pertunjukan. Aku duduk di hadapannya di restoran hotel bintang lima. Makanan mahal disajikan, pelayan berlalu-lalang dengan sopan. Tapi aku tak bisa merasakan rasa apa pun di lidahku. Hanya ada kekosongan. Aku tertawa saat dia melontarkan candaan garing, meskipun hatiku berontak. Aku menjawab semua pertanyaannya, berusaha terlihat menarik, cerdas, dan menyenangkan. Tapi jauh di dalam, aku seperti robot yang diatur untuk menyenangkan seseorang yang bahkan tak kukenal.

Setelah makan, kami naik ke kamar hotel di lantai tujuh. Aku berdiri diam di dekat pintu, menatap ke luar jendela. Kota ini tampak indah dari atas lampu-lampu gemerlap, jalanan ramai, dan kehidupan yang terus berjalan. Tapi bagiku, malam itu adalah malam ketika hidupku terhenti.

Aku melihat uang di atas meja. Segepok. Jumlahnya jauh lebih besar dari gaji sebulan kerja di toko atau pabrik. Jumlah yang cukup untuk membayar utang satu bulan, membeli obat untuk ayah, dan membelikan makanan bergizi untuk adik-adik.

BACA JUGA:Kisah Nyata Gadis Pinggiran Kota: Bayang-Bayang Dosa dan Cahaya Penyesalan (Part Dua)

Tanganku gemetar. Hatiku menjerit. Tapi tubuhku… tubuhku tetap berdiri di sana, tak bergerak. Air mata mengalir perlahan saat aku melangkah maju. Dalam hati aku berdoa lirih, “Ya Allah, maafkan aku... Ampuni aku…”

Malam itu aku kehilangan sesuatu yang tak bisa kembali. Bukan hanya soal kehormatan atau tubuh, tapi tentang mimpi, harapan, dan nilai-nilai yang dulu kujaga sejak kecil. Aku tidur di pelukannya, tapi jiwaku entah di mana. Aku hanya ingin semua cepat selesai.

Pagi harinya, aku pulang membawa uang dan belanjaan. Ibu memelukku dengan haru ketika aku memberikan obat untuk ayah. “Alhamdulillah, kamu anak baik, Nis…” katanya sambil menangis. Aku ingin menangis lebih keras. Tapi aku hanya mengangguk dan tersenyum palsu.

Adik-adikku bersorak melihat makanan cepat saji yang kubawa. “Kakak menang kuis ya?” tanya si bungsu. Aku hanya mengusap kepalanya dan berkata, “Iya, hadiah dari kantor.”

BACA JUGA:Gadis Pinggiran Kota: Langkah Baru Menuju Terang (Bagian 3 – Tamat)

Hari-hari berikutnya seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai. Satu sisi aku merasa hina, tapi di sisi lain aku tak bisa memungkiri bahwa uang itu telah mengubah banyak hal. Setiap kali aku ingin berhenti, tagihan baru datang. Rentenir mengetuk pintu dengan wajah galak. Dan Lela dia datang lagi dengan tawaran baru.

“Nis, klien kemarin suka sama kamu. Mau ketemu lagi. Mau kamu?” tanyanya sambil mengunyah permen karet.

Aku tak langsung menjawab. Tapi aku tahu jawabannya. Aku tahu bahwa sekalinya terperosok, sangat sulit untuk keluar.

Malam itu aku menatap wajahku di cermin. Bekas make-up semalam belum sepenuhnya hilang. Tapi yang paling kentara adalah sorot mata. Sorot mata yang dulu penuh semangat kini dipenuhi kehampaan. Aku yang dulu ingin jadi guru, ingin mengajar anak-anak di desa, atau menjadi penulis buku-buku inspiratif, kini hanya menjadi boneka malam. Menjual senyum demi menjaga keluargaku dari kehancuran.

Dan aku sadar... ini baru langkah pertama. Aku belum tahu seberapa dalam jurang ini akan menyeret ku. (djl)

Bersambung ke Bagian Tiga 

Catatan: Cerita ini adalah potret nyata tentang kerasnya kehidupan dan tekanan ekonomi yang bisa menyeret siapa saja ke jalan yang salah. Namun, ia juga menggambarkan kekuatan tekad, keberanian untuk berubah, dan arti penting dari pengampunan. Karena di balik setiap kesalahan, selalu ada ruang untuk kembali.

Kategori :