Gadis Pinggiran Kota: Langkah Baru Menuju Terang (Bagian 3 – Tamat)

Gadis Pinggiran Kota: Langkah Baru Menuju Terang (Bagian 3 – Tamat)

Radarseluma.disway.id - Gadis Pinggiran Kota: Langkah Baru Menuju Terang --

Reporter: Juli Irawan

Radarseluma.disway.id - Mentari pagi perlahan menyelinap lewat celah tirai jendela kamar kontrakan yang sederhana. Tidak ada lagi bau parfum mahal yang menusuk hidung, tak ada suara musik bising dari kafe malam, dan tak ada bayangan kilatan lampu disko di kelopak mata. Pagi itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku Rani menyambut hari baru tanpa lelah yang membekas di tubuh dan jiwa. Wajahku polos tanpa riasan, tapi mataku terasa lebih jernih. Ada ketenangan yang tak bisa dibeli dengan uang tenang karena aku tak perlu lagi pura-pura.

Meninggalkan dunia malam bukanlah akhir perjuangan. Justru sebaliknya, itu adalah awal dari babak yang benar-benar baru dalam hidupku. Tak ada lagi tumpukan uang haram di dompet, tak ada ucapan manis yang penuh sandiwara dari pelanggan, dan tak ada lagi gemerlap palsu yang selama ini meninabobokan luka batinku. Yang tersisa kini adalah laptop pinjaman dari tetangga sebelah, jaringan internet pas-pasan, dan segenggam semangat yang kerap diguncang ragu.

Aku memutuskan untuk belajar desain grafis secara daring. Komunitas sosial di media sosial menawarkan kursus gratis, dan aku mendaftar tanpa banyak pikir. Awalnya aku merasa sangat asing. Istilah seperti “vector”, “layer”, hingga “color grading” terdengar seperti bahasa planet lain. Tapi aku menolak menyerah. YouTube menjadi teman setia, forum-forum daring menjadi tempat bertanya, dan mentor komunitas jadi tempatku bersandar saat hampir putus asa.

BACA JUGA:Gadis Pinggiran Kota: Kisah Awal Terjerumus Dunia Malam Part Satu

Siang hari kugunakan untuk belajar, malam hari untuk merawat ibu yang sakit-sakitan, dan menjelang tidur aku bantu adikku mengerjakan PR. Hidup terasa padat, kadang melelahkan, tapi jauh lebih bermakna dari sekadar berdiri di bawah lampu redup dengan senyum pura-pura.

Beberapa minggu kemudian, benih kecil perjuanganku mulai menunjukkan tunasnya. Seorang pedagang kecil di pasar memintaku membuatkan brosur untuk tokonya. Ia tahu aku sedang belajar desain dari seorang kenalan di media sosial. Honor pertamaku tak seberapa, hanya cukup untuk bayar listrik dan beli kebutuhan dapur. Tapi saat uang itu berpindah tangan, air mataku jatuh. Untuk pertama kalinya, aku merasa mendapatkan uang dari keringat dan harga diri, bukan dari menjual tubuh dan kepalsuan.

Perlahan tapi pasti, kepercayaan diriku tumbuh. Aku mulai membuat akun Instagram kecil-kecilan untuk menawarkan jasa desain. Ada yang minta dibuatkan logo, edit foto, bahkan desain undangan pernikahan. Komunikasi dengan pelanggan kulakukan dengan penuh sopan dan jujur. Aku belajar tak hanya soal desain, tapi juga bagaimana bersikap sebagai perempuan yang sedang bangkit dari keterpurukan.

Namun, jalan menuju terang tak selalu mulus. Ada hari-hari ketika pesanan sepi, listrik hampir padam karena belum dibayar, dan aku tak bisa membelikan adik mainan yang ia inginkan. Dalam diam, kadang muncul godaan untuk kembali ke dunia lama. Ajakan dari teman-teman lama datang, dengan embel-embel uang cepat dan kemudahan. Tapi kali ini, aku memilih untuk menutup mata dan hati.

Baca: 

Aku belajar bahwa tidak semua uang layak dikejar. Ada harga yang terlalu mahal ketika kita menukar martabat demi keinginan sesaat. Aku sudah cukup merasakan betapa kosongnya dunia yang dulu kujalani.

Titik terang itu akhirnya datang saat seorang pemilik percetakan kecil di kota mengenalku lewat unggahan desainku di Instagram. Ia menyukai gaya desainku yang “bersih dan jujur”, katanya. Ia menawarkan kerja lepas secara rutin. Dari honor itu, aku bisa mencicil laptop bekas, membeli modem internet sendiri, dan perlahan hidup mulai bisa kuatur tanpa bergantung pada belas kasihan orang lain.

Ibu yang sempat murung, kini lebih sering tersenyum. Adikku yang kini kelas dua SMP, selalu menyebutku “kakak desainer grafis” dengan bangga di depan teman-temannya. Ia tak tahu detail masa laluku, tapi cukup tahu bahwa aku sedang berjuang menjadi lebih baik.

Suatu sore, aku duduk di teras kontrakan, memandangi langit jingga yang merekah di ufuk barat. Dalam hati aku bersyukur—bukan karena semua masalah telah selesai, tapi karena aku diberi kesempatan untuk memperbaiki arah. Masa lalu tak bisa kuhapus, bekasnya mungkin tetap ada, tapi masa depan masih kosong dan bisa kuisi dengan kisah yang lebih jujur dan bermakna.

Sumber:

Berita Terkait