Kisah Nyata Gadis Pinggiran Kota: Bayang-Bayang Dosa dan Cahaya Penyesalan (Part Dua)
Radarseluma.disway.id - Kisah Gadis Pinggiran Kota: Bayang-Bayang Dosa dan Cahaya Penyesalan--
Reporter: Juli Irawan
Radarseluma.disway.id - Malam itu hujan turun deras. Rintiknya menari di atas atap seng kamar kontrakanku yang sempit. Aku duduk diam di depan cermin kecil, membersihkan sisa riasan di wajah. Bedak, lipstik, dan maskara telah menutup bekas lelah dan luka sepanjang malam. Tapi tak satu pun bisa menghapus rasa sesak di dada yang kian menumpuk.
Sudah hampir setahun aku menjadi Lady Companion. Dunia malam yang dulu terasa asing kini menjadi rutinitas. Aku sudah terbiasa dengan rayuan murahan, aroma alkohol, dan tawa palsu yang menggema di antara denting gelas. Aku belajar tersenyum saat hati menangis, tertawa saat jiwaku ingin berteriak. Tapi sekeras apapun aku beradaptasi, rasa bersalah itu selalu pulang bersamaku.
Ada malam-malam ketika aku merasa tubuh ini bukan milikku lagi. Aku merasa seperti boneka yang dipinjamkan untuk kesenangan orang lain. Walau aku belum menjual kehormatan, tapi rasa dihargai hanya karena wajah dan senyum membuatku merasa hampa. Ada batas yang belum ku lewati, tapi setiap malam seolah mendorongku lebih dekat ke jurang itu.
BACA JUGA:Gadis Pinggiran Kota: Kisah Awal Terjerumus Dunia Malam Part Satu
Dita, temanku yang dulu menuntunku ke dunia ini, kini justru menjauh. Ia sudah terlalu tenggelam. Ia tak lagi peduli siapa tamunya, apa yang ia lakukan setelah kafe tutup, atau berapa harga yang ditawar. "Yang penting cuan, Ran. Hidup ini keras," katanya suatu malam sebelum pergi bersama pria asing.
Aku mulai takut. Takut suatu hari aku seperti Dita. Atau lebih buruk tak bisa keluar sama sekali. Ada malam ketika aku bermimpi ibuku mengetahui pekerjaanku. Wajah kecewanya membuatku terbangun sambil menangis. Aku ingin menjelaskan padanya bahwa semua ini demi dia, demi adik, demi masa depan. Tapi benarkah ini jalan yang benar?
Suatu malam, aku bertemu tamu yang berbeda. Namanya Andra. Ia tak banyak bicara, tak memegang ku, tak memaksa minum. Ia hanya menatapku lama, lalu berkata, “Kamu masih bisa keluar dari dunia ini, Ran.”
Aku kaget. “Kamu tahu aku siapa?”
“Tak perlu tahu. Tapi matamu jujur,” katanya sambil menatap dalam. “Bukan tempatmu di sini.”
Entah kenapa, kalimat itu menggema di hatiku selama berhari-hari. Kata-katanya bukan penghakiman, tapi seperti pintu kecil yang terbuka di lorong gelap tempat aku tersesat. Aku mulai bertanya pada diriku sendiri, “Masih mungkinkah kembali?”
Di tengah gundah, aku mulai kembali Shalat malam, pelan-pelan. Awalnya hanya untuk menenangkan diri, tapi lama-lama aku menangis dalam sujud. Aku meminta ampun, meski aku tahu diriku belum kuat sepenuhnya untuk berhenti. Setiap kali aku meletakkan dahi ke sajadah, aku merasa seperti sedang berbicara dengan sisi terdalam dari diriku sendiri sisi yang lama terkubur di balik gemerlap lampu malam dan topeng senyum palsu.
BACA JUGA:Selebgram Konsultan Spiritual Rafi Ramadhan Dicokok Polisi, Soal Narkoba!
Kemudian cobaan datang ibuku jatuh sakit. Paru-parunya lemah, dokter menyarankan rawat inap. Uangku tak cukup. Tabunganku habis. Aku merasa dipukul dari dua sisi: di satu sisi ingin keluar dari dunia malam, di sisi lain butuh uang besar dalam waktu cepat.
Sumber: