Pakaian Adat Aesan Paksangko Palembang: Simbol Kesederhanaan dan Filosofi Hidup Masyarakat Sumatera Selatan
Radarseluma.disway.id - Keanggunan Pakaian Adat Aesan Paksangko Palembang: Simbol Kesederhanaan dan Filosofi Hidup Masyarakat Sumatera Selatan--
Reporter: Juli Irawan Radarseluma.disway.id -Indonesia dikenal sebagai Negeri yang kaya akan budaya, termasuk dalam hal pakaian adat yang menjadi simbol jati diri dan identitas masyarakat di setiap daerah. Sumatera Selatan, khususnya Palembang, memiliki warisan busana adat yang tak kalah menawan dan sarat makna. Jika sebelumnya masyarakat lebih mengenal Aesan Gede sebagai pakaian adat kebesaran, maka ada satu lagi pakaian adat yang tak kalah penting yaitu Aesan Paksangko.
Pakaian adat Aesan Paksangko bukan sekadar busana tradisional biasa. Ia hadir sebagai cerminan filosofi kehidupan masyarakat Palembang yang menjunjung tinggi kesopanan, kesederhanaan, sekaligus keteguhan dalam menjaga nilai-nilai leluhur. Keindahan pakaian ini tidak hanya tampak dari bentuk dan hiasannya, tetapi juga dari makna yang tersimpan dalam setiap detailnya.
Artikel ini akan mengulas secara panjang lebar mengenai asal-usul, filosofi, ciri khas, hingga fungsi pakaian adat Aesan Paksangko yang hingga kini masih lestari dalam berbagai acara adat dan budaya masyarakat Palembang.
Asal-Usul dan Sejarah Aesan Paksangko
Nama “Aesan Paksangko” berasal dari kata dalam bahasa Palembang lama. “Aesan” berarti pakaian, busana, atau perhiasan yang dikenakan, sementara “Paksangko” merujuk pada kesederhanaan, ketenangan, dan kepatutan. Secara historis, pakaian adat ini berkembang pada masa kejayaan Kesultanan Palembang Darussalam sekitar abad ke-17 hingga 19 Masehi.
Jika Aesan Gede digunakan oleh keluarga bangsawan sebagai simbol kebesaran, maka Aesan Paksangko lebih banyak dipakai oleh masyarakat lapisan menengah. Hal ini menggambarkan adanya stratifikasi sosial dalam budaya berpakaian masyarakat Palembang. Walau demikian, pakaian ini tetap memiliki nilai yang luhur karena menekankan kesopanan dan harmoni dengan lingkungan sosial.
Aesan Paksangko diwariskan secara turun-temurun sebagai busana adat yang dikenakan pada acara resmi maupun perayaan adat, terutama dalam upacara pernikahan. Hingga kini, pakaian ini tetap dilestarikan sebagai salah satu ikon budaya Palembang yang membedakan antara busana kebesaran (Aesan Gede) dengan busana kesederhanaan (Aesan Paksangko).
BACA JUGA:Menyelami Filosofi Rumah Adat Rakit Sumatera Selatan: Warisan Budaya Sungai Musi yang Sarat Makna
Ciri Khas dan Filosofi Aesan Paksangko
Keindahan Aesan Paksangko bukan hanya terletak pada visual busananya, tetapi juga makna filosofis yang terkandung di dalamnya. Beberapa ciri khas dan makna yang menonjol adalah sebagai berikut:
1. Dominasi Warna
Aesan Paksangko umumnya didominasi warna cokelat, kuning emas, dan merah bata yang lebih lembut dibandingkan Aesan Gede. Warna ini melambangkan kesederhanaan, kehangatan, dan kebijaksanaan, sekaligus menggambarkan masyarakat Palembang yang ramah dan bersahaja.
2. Busana Pengantin Pria
Pengantin pria biasanya mengenakan baju lengan panjang dengan celana panjang yang dilengkapi kain songket khas Palembang. Bagian kepala menggunakan tanjak atau songkok yang dibuat dari songket halus. Filosofinya adalah bahwa seorang pria harus berwibawa, sederhana, namun tetap menjunjung martabat keluarga.
3. Busana Pengantin Wanita
Pengantin wanita mengenakan kebaya sederhana berbahan songket dengan motif khas Palembang. Perhiasan yang dikenakan juga tidak berlebihan, hanya berupa kalung atau pending sederhana. Hal ini melambangkan kesucian, kesopanan, dan keteduhan seorang wanita dalam mengarungi rumah tangga.
Sumber: