Jejak Toponimi “Tais”: Asal-Usul Nama Kota Ibu Kota Seluma, Dari Buah Asam Hingga Pusat Pemerintahan
Radarseluma.disway.id - Jejak Toponimi “Tais”: Asal-Usul Nama Kota Ibu Kota Seluma, Dari Buah Asam Hingga Pusat Pemerintahan--
Reporter: Juli Irawan Radarseluma.disway.id - Kota Tais hari ini dikenal sebagai jantung Kabupaten Seluma ruang denyut administrasi, ekonomi, dan perjumpaan budaya Serawai. Namun di balik hiruk-pikuk Pasar Tais, alun-alun, dan simpul-simpul jalan yang terus dibenahi, nama “Tais” menyimpan riwayat yang unik: sebuah penamaan yang berakar pada sebutir buah asam di tepi talang, yang kelak mengabadikan diri menjadi nama kota. Sebelumnya Radarseluma sudah pernah mengangkat asal-usul Pasar Tais untuk menelusuri asal-usul nama “Tais” dari jejak tutur para sesepuh, penulis lokal, serta rujukan tercetak, seraya memadukannya dengan catatan administratif modern agar pembaca memperoleh gambaran utuh: dari kisah etimologis, konteks sejarah, hingga posisi Tais sebagai ibu kota Kabupaten Seluma dan saat ini kembali Radarseluma.disway.id menggali lebih dalam lagi agar generasi muda lebih mengenal asal usul Pasar Tais sebagai Ibukota Kabupaten Seluma.
Jejak Nama dari Lisan Sesepuh
Dalam tradisi lisan yang hidup di kalangan tokoh adat dan penutur sejarah lokal, asal-usul nama “Tais” kuat dikaitkan dengan ekspedisi tokoh dari lingkungan Kerajaan Pagaruyung di masa lampau. Cerita yang paling sering dirujuk menyebut Maha Raja Sakti utusan Pagaruyung melakukan penjelajahan ke kawasan Bengkulu bagian selatan untuk “membaca” potensi wilayah. Rombongan ini singgah di suatu talang (permukiman-kebun) yang kelak berkembang menjadi kawasan Tais. Pada satu kesempatan, jatuhlah sebutir buah dari pohon di dekat rombongan. Buah itu mirip bacang/embacang, namun berukuran lebih besar dan rasanya asam. Saat sang utusan bertanya kepada penduduk mengenai nama buah tersebut, mereka menyebutnya “Tais”. Dari momen sederhana itu, sang utusan mengusulkan agar wilayah itu dinamai sesuai nama buah: Tais. Versi lisan juga menyebut bentuk asli penyebutannya “Tayas”, tetapi dalam percakapan kala itu terdengar dan kemudian dipakai menjadi “Tais”. Cerita ini sudah pernah di angkat sebelumnya oleh Radarseluma.disway.id yang mengutip dari sesepuh dan penulis sejarah Serawai, H. Bustan A. Dali, sehingga memperkuat statusnya sebagai tradisi tutur yang telah lama beredar.
Kisah rakyat tersebut beresonansi dengan pola penamaan tempat (toponimi) Nusantara yang kerap mengambil unsur alam pohon, buah, hewan, bentuk lahan sebagai penanda lokasi. Dalam konteks budaya Serawai, penamaan berakar alam juga tampak pada berbagai desa di wilayah sekitar, sebagaimana banyak ditunjukkan studi-studi toponimi di Bengkulu bagian selatan. Dengan demikian, penyematan “Tais” selaras dengan pola umum penamaan tradisional di Sumatra bagian selatan pada masa pra-administratif modern. (Analogi toponimi Serawai, lihat misalnya kajian toponimi desa di wilayah tetangga di Pino Raya yang memperlihatkan kecenderungan sejenis).
BACA JUGA:Menelusuri Asal Usul Nama Kabupaten Seluma: Sejarah, Makna, dan Identitas Daerah
Sumber Tertulis dan Rujukan Perpustakaan Seluma
Di luar cerita lisan, karya-karya Bustan A. Dali peneliti/penulis yang menulis banyak tentang Serawai dan Seluma menjadi rujukan penting. Bibliografi akademik dan naskah ilmiah menyebut dua judul yang sering dikutip: Daerah Seluma dalam Sejarah: Asal Usul, Pertumbuhan, dan Perkembangan (Tais: Yayasan Pembangunan Kabupaten Seluma, 2004) serta naskah sinopsis Sejarah Daerah Tana Serawai Empat Semidang, Kabupaten Seluma (2008). Kehadiran dua karya ini kerap muncul di daftar pustaka penelitian budaya Serawai, menandakan posisinya sebagai “buku perpustakaan” rujukan lokal yang mendokumentasikan sejarah sosial Seluma, termasuk motif penamaan. Meski akses daring penuh atas isi buku terbatas, kutipan dan penyebutan bibliografisnya konsisten di repositori akademik dan artikel ilmiah.
Di sisi lain, merawat ingatan kolektif. Selain liputan-liputan Radarselumadisway.id yang mengulas asal-usul nama Tais, kisah buah “Tais/Tayas” juga muncul dalam tulisan di media-media lainnya yang mengangkat tema asal-usul toponimi daerah, mendokumentasikan ulang versi sesepuh tentang Maha Raja Sakti dan buah asam yang menjadi penanda wilayah. Konsistensi motif cerita di beberapa kanal ini membuat narasi etimologis “Tais” semakin kuat sebagai memori lokal.
Dari Talang ke “Pasar Tais”: Jalur Perkembangan Kawasan
Seturut bergulirnya waktu, kawasan yang dikenal sebagai Tais berkembang dari talang berkebun menjadi simpul perdagangan rakyat. Penambahan kata “Pasar” pada “Pasar Tais” merefleksikan fungsi ekonomi yang menguat, lalu bertransformasi menjadi pusat layanan publik dan ruang pertemuan warga. Dalam administrasi modern, dokumen-dokumen resmi menyebut Pasar Tais sebagai kursi (seat) pemerintahan Kabupaten Seluma. Ensiklopedia daring dan ringkasan statistik wilayah menempatkan Pasar Tais sebagai ibu kota kabupaten, yang meneguhkan posisi Tais bukan sekadar penanda toponimi tradisi, tetapi juga entitas administratif kontemporer.
Status Tais sebagai ibu kota kian solid setelah Kabupaten Seluma terbentuk melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2003 sebagai hasil pemekaran dari Bengkulu Selatan. Sejak itu, Tais tampil bukan hanya sebagai pasar, tetapi juga pusat pemerintahan: kantor bupati, lembaga peradilan agama (dibentuk berdasar Keppres No. 15 Tahun 2016), dan berbagai kantor dinas kabupaten beroperasi di wilayah ini. Perkembangan infrastruktur dari perkantoran, jalan, hingga alun-alun memperluas peran Tais sebagai ruang perjumpaan sosial baru bagi warga Seluma.
BACA JUGA:Menelusuri Asal Usul Suku Serawai: Jejak Sejarah, Wilayah Persebaran, dan Identitas Budaya
Etimologi “Tais”: Buah, Bunyi, dan Ingatan Kolektif
Asal-usul “Tais” sebagai nama buah asam (serupa bacang tetapi lebih besar) memperlihatkan bagaimana lanskap alam memberi identitas kepada tempat. Dalam kacamata linguistik rakyat, variasi fonetik antara “Tayas” dan “Tais” yang dicatat sesepuh menunjukkan proses pelisanan: apa yang didengar kemudian dilembagakan sebagai nama. Proses ini lazim dalam penamaan tempat berbasis istilah lokal ia tidak selalu baku sejak awal, tetapi mengendap sebagai konvensi seiring generasi. Tradisi lisan yang menonjolkan peran Maha Raja Sakti juga menunjukkan mekanisme legitimasi dalam budaya toponimi: kehadiran figur otoritatif (raja/utusan) yang “meresmikan” nama setelah berinteraksi dengan fakta alam setempat (buah), lalu nama itu digunakan terus-menerus hingga kini.
Sumber: