Menyusuri Jejak Hidup Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, Sang Sultanul Auliya

Menyusuri Jejak Hidup Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, Sang Sultanul Auliya

Radarseluma.disway.id - Menyusuri Jejak Hidup Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, Sang Sultanul Auliya--

Reporter: Juli Irawan Radarseluma.disway.id - Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani adalah salah satu tokoh ulama besar yang dikenang sepanjang masa. Beliau bukan hanya guru spiritual, tetapi juga sosok yang dihormati sebagai Sultanul Auliya atau pemimpin para wali. Nama beliau harum di Baghdad, menyinari dunia Islam dengan warisan ilmu, dakwah, akhlak, dan tarekat yang hingga kini tetap hidup dalam sanubari umat.

Al-Qur’an dan Sunnah sendiri memberi legitimasi bahwa Allah meninggikan derajat hamba-hamba-Nya yang dekat kepada-Nya. Kisah perjalanan hidup beliau menjadi cermin bagi umat Muslim bahwa ketaatan, ilmu, dan akhlak yang mulia akan meninggalkan jejak yang abadi.

Syaikh Abdul Qadir lahir pada tahun 470 H (1077 M) di wilayah Jilan (Iran sekarang). Dari garis ayah maupun ibunya, beliau memiliki nasab yang bersambung kepada Rasulullah SAW. Hal ini menjadi salah satu faktor yang membuatnya dihormati umat, selain ketekunannya dalam menuntut ilmu sejak kecil.

Sejak usia muda, beliau menempuh perjalanan ke Baghdad untuk mendalami ilmu agama. Kota itu kala itu merupakan pusat peradaban Islam. Beliau belajar dari ulama-ulama besar hingga akhirnya dikenal sebagai seorang faqih bermadzhab Hanbali, muhaddits, sekaligus guru tasawuf.

BACA JUGA:Nasab Mulia Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani: Dari Baghdad Hingga Bersambung ke Rasulullah SAW

Jejak Perjalanan Ilmu dan Dakwah

Di Baghdad, beliau membuka majelis pengajian yang selalu dipenuhi ribuan orang. Majelis itu bukan hanya berisi kajian fikih dan hadits, tetapi juga nasihat moral dan pembersihan hati. Beliau menekankan pentingnya tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) agar ibadah tidak hanya sebatas ritual, tetapi menghadirkan keikhlasan sejati.

Kekuatan dakwah beliau adalah keseimbangan. Beliau tidak hanya menekankan syariat, tetapi juga menghidupkan ruhani umat melalui dzikir dan akhlak mulia. Dari sinilah lahir tarekat Qadiriyah, salah satu tarekat sufi yang tertua dan tersebar luas di berbagai belahan dunia, termasuk di Nusantara.

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (يونس: 62)

Artinya: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Yunus: 62)

Ayat ini menjadi fondasi teologis bahwa orang-orang yang dekat dengan Allah akan mendapatkan perlindungan dan ketenangan. Para ulama menafsirkan ayat ini bukan sekadar jaminan ukhrawi, melainkan juga tanda bahwa keberadaan para wali menjadi rahmat dan penyejuk bagi umat.

Rasulullah SAW bersabda dalam hadits Qudsi:

مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ … وَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ

Artinya: “Barang siapa memusuhi wali-Ku, maka Aku umumkan perang terhadapnya … dan apabila Aku mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang ia mendengar dengannya, penglihatannya yang ia melihat dengannya …” (HR. Bukhari)

Sumber:

Berita Terkait