Dzulqa’dah: Waktu yang Tepat untuk Berdamai dengan Diri Sendiri
Radarseluma.disway.id - Dzulqa’dah: Waktu yang Tepat untuk Berdamai dengan Diri Sendiri--
Bulan Dzulqa’dah hadir di antara dua momentum besar: pasca-Ramadhan dan menjelang Dzulhijjah. Ini menjadi waktu ideal untuk merenung dan mengevaluasi. Apakah ibadah Ramadhan kita sudah cukup membentuk kepribadian yang lebih baik? Apakah kita telah menjalankan perubahan atau justru kembali pada kebiasaan buruk?
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an Surat Asy-Syams: 9-10 yang mana berbunyi:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا، وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا
Artinya:
“Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwa itu, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 9-10)
Pembersihan jiwa (tazkiyatun nafs) adalah inti dari proses berdamai dengan diri. Di bulan Dzulqa’dah, kita bisa memperbanyak istighfar, dzikir, membaca Al-Qur’an, dan menghindari pertikaian serta emosi negatif. Semua itu adalah bentuk konkret dari self-healing Islami yang membawa kedamaian hati dan ketenangan pikiran.
BACA JUGA:Berfikir Positif dan Meningkatkan Kehidupan Spiritual di Bulan Dzulqa’dah
Peran Dzikir dan Doa
Mengisi Dzulqa’dah dengan memperbanyak dzikir dan doa sangat dianjurkan. Dzikir merupakan penenang hati dan cara ampuh berdamai dengan diri sendiri. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an Surat Ar-Rad ayat 28 yang mana berbunyi:
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
Artinya:
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28)
Merenungi ayat-ayat ini membuat kita sadar bahwa kedamaian sejati bukan datang dari dunia, harta, atau status, melainkan dari kedekatan kita dengan Allah. Dzulqa’dah adalah momentum untuk mendekatkan hati kita kembali kepada-Nya.
Belajar dari Nabi dalam Menenangkan Jiwa
Rasulullah SAW adalah teladan utama dalam menghadapi tekanan hidup. Beliau selalu berserah diri kepada Allah dalam situasi apa pun. Ketika dihina, disakiti, bahkan diusir, beliau tetap bersikap tenang dan memaafkan. Ini menjadi pelajaran bahwa ketenangan dan kedamaian jiwa tidak muncul karena dunia bersikap ramah, melainkan karena hati yang kuat dan bersandar pada Allah.
Dalam satu Hadits disebutkan yang diriwayatkan oleh Hadits Thabrani yang berbunyi:
إِنَّ لِلَّهِ آنِيَةً مِنْ أَهْلِ الْأَرْضِ، وَآنِيَةُ رَبِّكُمْ قُلُوبُ عِبَادِهِ الصَّالِحِينَ، وَأَحَبُّهَا إِلَيْهِ أَلْيَنُهَا وَأَرَقُّهَا
Sumber: