Kisah Jenderal Muslim Muhammad Al-Fatih: Sang Penakluk Konstantinopel, Pemuda Visioner dalam Cahaya Nubuwah

Kisah Jenderal Muslim Muhammad Al-Fatih: Sang Penakluk Konstantinopel, Pemuda Visioner dalam Cahaya Nubuwah

Radarseluma.disway.id - Kisah Jenderal Muslim Muhammad Al-Fatih: Sang Penakluk Konstantinopel, Pemuda Visioner dalam Cahaya Nubuwah--

Reporter: Juli Irawan
Radarseluma.disway.id - Dalam sejarah panjang peradaban Islam, terdapat nama-nama agung yang dikenang karena prestasi dan dedikasi mereka dalam menegakkan kalimatullah. Di antara tokoh besar tersebut, sosok Muhammad Al-Fatih atau Sultan Mehmed II berdiri sebagai pemuda fenomenal yang menaklukkan Konstantinopel, kota benteng kuat Kekaisaran Bizantium yang tak tergoyahkan lebih dari satu milenium. Penaklukan ini bukan sekadar capaian militer, melainkan perwujudan nubuwah Rasulullah SAW:

لَتُفْتَحَنَّ القُسْطَنْطِينِيَّةُ، فَلَنِعْمَ الأَمِيرُ أَمِيرُهَا، وَلَنِعْمَ الجَيْشُ ذَلِكَ الجَيْشُ Artinya: "Sungguh Konstantinopel pasti akan ditaklukkan. Sebaik-baik pemimpin adalah pemimpinnya dan sebaik-baik pasukan adalah pasukannya." (HR. Ahmad)

Hadis ini memberikan inspirasi dan motivasi bagi banyak generasi Muslim hingga akhirnya terwujud melalui perjuangan Muhammad Al-Fatih yang baru berusia 21 tahun saat mengukir sejarah tersebut.

Masa Kecil yang Penuh Cahaya Ilmu

Muhammad Al-Fatih lahir pada 29 Maret 1432 M di Edirne, Kesultanan Utsmani. Ia merupakan putra dari Sultan Murad II dan sejak kecil dididik dalam suasana religius dan ilmiah. Ayahnya memahami bahwa anak ini harus dipersiapkan untuk membawa misi besar Islam. Oleh karena itu, Muhammad kecil ditempa dengan ketat dalam pendidikan Al-Qur’an, hadis, ilmu fiqh, sejarah Islam, bahasa Arab, Persia, dan juga strategi militer.

Guru spiritualnya adalah Syaikh Aaq Syamsuddin, seorang ulama besar yang menanamkan semangat jihad dan nilai-nilai keimanan dalam diri Muhammad Al-Fatih. Syaikh Syamsuddin selalu menanamkan bahwa anak didiknya adalah calon pemimpin yang disebut oleh Nabi Muhammad SAW.

قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ۗ 

Artinya: "Katakanlah: 'Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?'" (QS. Az-Zumar: 9)

Ayat ini menjadi motivasi bagi Muhammad Al-Fatih dalam menuntut ilmu dan mempersiapkan dirinya untuk menjadi pemimpin besar.

BACA JUGA:Kisah Jenderal Muslim Ali bin Abi Thalib: Singa Allah, Panglima Tak Tertandingi dalam Cahaya Iman

Menjadi Sultan dalam Usia Muda

Pada usia 12 tahun, Muhammad Al-Fatih telah ditunjuk sebagai Sultan oleh ayahnya yang sementara waktu mengundurkan diri. Meskipun kepemimpinan awalnya diuji dengan berbagai pemberontakan dan tekanan dari luar, ia tidak gentar. Setelah ayahnya wafat pada tahun 1451, Muhammad Al-Fatih kembali naik takhta secara penuh dan mulai mempersiapkan misi besar: menaklukkan Konstantinopel.

Penaklukan Konstantinopel: Perpaduan Strategi dan Iman

Konstantinopel, ibukota Bizantium, adalah kota strategis yang telah menjadi target penaklukan umat Islam sejak masa Khulafaur Rasyidin. Berbagai upaya sebelumnya gagal karena kokohnya benteng dan letak geografis yang menguntungkan.

Sumber:

Berita Terkait