Auman di Batas Senja, Kisah Puyang dan Anak Cucu yang Lupa Diri

Sabtu 18-10-2025,19:34 WIB
Reporter : Eldo Fernando
Editor : Eldo Fernando

 

 

Kami adalah Suku Serawai, pewaris tanah yang dingin dan hutan yang gelap. Dengarkanlah cerita kami, cerita tentang darah dan rimba, tentang janji yang terukir sejak Puyang pertama menginjakkan kaki di alam baka.

Kami menyebutnya Setuo atau Puyang. Bukan hanya harimau, ia adalah Leluhur. Ia adalah penjaga, saudara tua, yang memilih hidup di keheningan rimba, sementara kami, anak cucunya, mendirikan rumah di tepi desa.

Puyang tinggal di sana, di balik rerimbunan yang tak tersentuh, di mana sungai masih jernih dan rusa masih berlimpah. Di sanalah ranjangnya, di sanalah dapurnya. 

 

Kami? Kami makan tiga kali sehari, tidur nyenyak di bawah atap yang kokoh, dan pakaian kami pantas di badan. Jarak antara desa kami dan hutan Puyang adalah perjanjian hidup. 

Kami menghormati batasnya, dan ia menghormati batas kami. Sebuah keseimbangan yang telah membuat kami lestari, generasi demi generasi.

 

 Lidah Emas dan Hati yang Serakah

 

Namun, celakalah bagi kami. Di antara anak cucu Puyang, tumbuh penyakit serakah. Mata kami tak lagi melihat kecukupan yang ada, tetapi silau oleh bisikan iblis tentang emas yang tersembunyi di jantung hutan Puyang.

 

"Lihatlah, emas! Kekayaan yang tak terhingga! Mengapa kita harus hidup sederhana sementara harta karun itu teronggok di hutan yang sepi? Puyang hanya butuh rusa dan babi hutan. Kita butuh kekayaan untuk anak cucu!" Begitulah bisikan itu merayap, menghancurkan nalar dan mematikan rasa hormat.

Maka, mereka datang. Bukan dengan kapak dan parang biasa, tetapi dengan mesin-mesin raksasa. 

Kategori :