Auman di Batas Senja, Kisah Puyang dan Anak Cucu yang Lupa Diri

Sabtu 18-10-2025,19:34 WIB
Reporter : Eldo Fernando
Editor : Eldo Fernando

Mereka merobek perut bumi di Bukit Sanggul, Seluma. Mereka menggali, mencemari sungai, menumbangkan pohon-pohon tua, tanpa mempedulikan bahwa setiap tebasan adalah sayatan di tubuh leluhur.

Mereka berkata ini adalah kemajuan. Mereka berkata ini adalah kesempatan. Tetapi, mereka lupa—atau pura-pura lupa—bahwa kemajuan yang menghancurkan rumah Leluhur adalah kemunduran moral yang mematikan. Mereka mengambil emas, tetapi kehilangan jiwa mereka sendiri.

 Ketika Pintu Desa Harus Terbuka

Dengarkanlah! Di kedalaman hutan, terjadi sebuah tragedi yang sunyi.

Puyang tidak lagi menemukan rusa. Sungai yang biasa ia minum kini keruh, pahit oleh racun.

 Rumahnya telah menjadi lubang besar, becek, dan tandus. Lapar mulai menggerogoti perutnya yang perkasa. Ia meratap, bukan karena ingin menyerang, tetapi karena dikhianati.

"Anak cucuku... Mengapa kalian begitu tega? Kaki kalian melangkah di tanah yang telah aku jaga, tetapi tangan kalian menusuk jantungku. Aku lelah. Aku lapar. Aku tidak punya rumah lagi," raungannya terpendam di balik suara bising mesin pengeruk.

Malam itu, seiring debu tambang yang melayang ke desa, terjadi keheningan yang mencekam.

 

Anak cucu di desa tidur nyenyak, mimpi mereka dipenuhi kilauan emas. Mereka tidak mendengar langkah berat yang kini mendekati pagar desa. Mereka tidak mencium bau amarah dan kelaparan yang dibawa oleh angin malam.

 

Saat Puyang berdiri di batas antara rimba yang hancur dan desa yang damai, matanya yang tajam menatap ke dalam rumah-rumah berdinding kayu. 

Ia tidak datang sebagai harimau, tetapi sebagai Hukuman. Ia tidak mencari mangsa liar, ia mencari keseimbangan yang telah dicuri.

 

 

 

Kategori :