Walhi Sebut Tambang Emas Bukit Sanggul Harus Ditolak, Ancam Satwa dan Lingkungan
Penolakan tambang emas--
Selain ancaman terhadap keanekaragaman hayati, Walhi juga menyoroti potensi pencemaran air akibat penggunaan bahan kimia berbahaya, seperti merkuri, dalam proses pemurnian emas. Sungai-sungai yang berhulu di kawasan tambang terancam tercemar, padahal sungai tersebut menjadi sumber air bersih dan irigasi pertanian bagi masyarakat di hilir.
"Ini adalah ancaman langsung terhadap kesehatan warga dan ketahanan pangan mereka," tegas Dodi.
Penambangan emas juga dinilai mengancam keberlanjutan ekonomi warga sekitar. Banyak masyarakat yang menggantungkan hidup dari lahan perkebunan yang berada di sekitar kawasan hutan. Aktivitas tambang diperkirakan akan menghilangkan lahan produktif tersebut.
"Bahkan, ada potensi hilangnya desa secara administratif, karena sebagian besar desa di sekitar Bukit Sanggul belum memiliki peta wilayah yang jelas," terangnya.
BACA JUGA:DPRD Seluma akan Panggil PJ Sekda dan Asisten, Terkait PPPK Tahap II Dibatalkan?
BACA JUGA:Bupati Seluma Klarifikasi Isu Pembatalan Seleksi PPPK Tahap II, Belum Ada Keputusan Final
Ironisnya, pada 25 Mei 2023, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerbitkan SK Nomor SK.533/MenLHK/Setjen/PLA.2/5/2023, yang mengubah status 19.223,73 hektare kawasan hutan lindung menjadi hutan produksi. Langkah ini membuka jalan bagi PT ESDMu, yang kini telah mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi berdasarkan SK Kementerian ESDM RI Nomor 91202066526110014, berlaku dari 17 Januari 2025 hingga 17 Januari 2045, dengan total wilayah 24.800 hektare.
Padahal, menurut Peta Rencana Kerja Sub Nasional Indonesia’s Forestry and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030, wilayah tersebut termasuk dalam kategori Kawasan Konservasi Tinggi (RO11), yang seharusnya mendapat perlindungan ketat.
Sumber: