Mengapa Abu Nawas Menyembah Uang? Cek Faktanya

Mengapa Abu Nawas Menyembah Uang? Cek Faktanya

Radarseluma.disway.id - Mengapa Abu Nawas Menyembah Uang? Cek Faktanya --

Reporter: Juli Irawan 

Radarseluma.disway.id - Di suatu pagi yang cerah di Kota Baghdad, seperti biasa, Abu Nawas duduk bersila di pelataran masjid. Di tangannya, segelas teh panas mengepul, dan di wajahnya terpancar senyum misterius yang sering membuat orang bertanya-tanya: "Apa lagi yang ada di kepala si Abu Nawas hari ini?"

Namun, pagi itu ada yang berbeda. Abu Nawas memegang segenggam koin emas dan menaruhnya di atas sajadahnya. Ia menunduk, lalu sujud… kepada koin-koin itu!

Orang-orang yang melihat sontak terperangah. Beberapa bahkan nyaris melemparkan sendalnya ke arah Abu Nawas.

“Hei! Astaghfirullah! Abu Nawas sudah gila! Menyembah uang?!” teriak seorang laki-laki tua sambil menunjuk dengan tongkatnya.

Anak-anak kecil berlarian sambil meneriakkan, “Abu Nawas jadi penyembah dinar! Abu Nawas jadi penyembah dinar!”

Namun Abu Nawas tak bergeming. Ia tetap dalam posisi sujudnya. Beberapa lama kemudian, barulah ia duduk tegak dan tersenyum lebar.

“Tenang, wahai penduduk Baghdad,” ucapnya kalem. “Aku akan jelaskan semuanya.”

Hari itu, kota Baghdad menjadi heboh. Kabar bahwa Abu Nawas kini menyembah uang telah menyebar ke seluruh pelosok kota. Para ulama, saudagar, pejabat, hingga anak-anak sekolah berkumpul di alun-alun. Mereka ingin mendengar langsung dari mulut Abu Nawas: mengapa dia, sang pemuka jenaka yang dikenal cerdas dan religius, melakukan hal semacam itu?

BACA JUGA:Cara Unik Abu Nawas Menyelesaikan Utang

Sultan Harun Ar-Rasyid pun turut hadir. Ia duduk di atas singgasananya, dikelilingi para menteri dan pengawal kerajaan.

“Abu Nawas,” kata sang Sultan sambil mengelus janggutnya, “aku tahu engkau bukan orang gila. Tapi tindakanmu pagi ini sungguh membuat rakyat khawatir. Jelaskan lah… mengapa engkau menyembah uang?”

Abu Nawas tersenyum, lalu berdiri di hadapan khalayak ramai. Ia mengangkat koin emas tinggi-tinggi.

“Wahai Sultan dan segenap rakyat Baghdad… aku ingin bertanya. Siapakah yang paling ditaati oleh manusia di zaman ini?”

Beberapa menjawab, “Allah.”

Abu Nawas mengangguk, lalu tersenyum sinis. “Benarkah begitu? Coba kita lihat…”

Ia berjalan ke arah seorang pedagang kaya.

“Wahai tuan pedagang, jika adzan berkumandang dan engkau sedang menghitung uangmu, mana yang lebih dahulu engkau pilih: shalat atau melanjutkan menghitung keuntungan daganganmu?”

Si pedagang tergagap. “Uh… tergantung... kadang... ya...”

Abu Nawas mengangguk pelan. “Itulah maksudku. Banyak Manusia lebih patuh pada uang daripada pada Tuhannya.”

Lalu Abu Nawas berpaling pada seorang pejabat.

“Dan engkau, wahai tuan pejabat. Berapa kali engkau menolak suap demi keadilan? Bukankah banyak dari kalian menjual keadilan hanya karena beberapa kantong dinar?”

Pejabat itu menunduk, tak mampu menjawab.

“Dan engkau, wahai para pemuda,” lanjut Abu Nawas sambil menatap sekumpulan anak muda yang tampak penuh gaya, “berapa banyak dari kalian yang lebih sibuk mengejar harta daripada ilmu? Berapa banyak dari kalian yang lebih memilih bekerja melampaui waktu shalat, hanya demi menambah gaji sebulan?”

BACA JUGA:Siasat Abu Nawas Menghindari Pajak: Kisah Jenaka yang Sarat Makna

Suasana menjadi hening. Abu Nawas menghela napas panjang, lalu berkata, “Aku sujud kepada uang tadi pagi, bukan karena aku menyembahnya. Tapi aku ingin memperlihatkan kepada kalian semua, bahwa itulah sesungguhnya yang sedang kalian sembah setiap hari: uang!”

Sultan Harun Ar-Rasyid terdiam beberapa saat, lalu tertawa terbahak-bahak.

“Hahaha! Sungguh, engkau benar-benar licik dan bijak dalam satu waktu, wahai Abu Nawas!”

Rakyat Baghdad pun akhirnya menyadari maksud dari tindakan Abu Nawas. Ternyata itu adalah sindiran tajam, sindiran jenaka tapi menghujam. Mereka tak menyangka, lelaki yang dikenal jenaka itu justru sedang menggugat hati nurani mereka.

Abu Nawas lalu melanjutkan, “Sesungguhnya, Allah telah berfirman dalam Al-Qur’an:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Artinya: ‘Dan Aku tidak menciptakan Jon dan Manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.’ (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Namun lihatlah, banyak manusia kini justru lebih menyembah makhluk: menyembah jabatan, kekuasaan, harta, dan uang. Padahal semua itu hanyalah alat, bukan tujuan hidup.”

Ia diam sejenak, menatap langit biru Baghdad yang cerah.

“Uang bukan musuh kita,” katanya, “tapi jika kita meletakkannya di hati, maka ia akan memperbudak. Namun jika kita letakkan di tangan, maka ia akan menjadi pelayan.”

Sejak hari itu, kota Baghdad ramai membicarakan hikmah dari peristiwa "Abu Nawas Menyembah Uang". Tak sedikit yang mulai mengevaluasi dirinya. Pedagang lebih jujur, pejabat lebih amanah, dan masjid lebih ramai oleh orang yang sebelumnya lebih sering sibuk menghitung harta daripada bersujud kepada Yang Maha Kaya.

Dan Abu Nawas? Ia tetap duduk di pelataran masjid dengan senyum misteriusnya, ditemani teh panas dan sepotong roti. Uangnya? Entah ke mana. Tapi jelas, ia tak pernah benar-benar menyembah uang. Ia hanya sedang mengingatkan dunia, dengan caranya yang khas: jenaka, cerdas, dan tak terlupakan. (djl)

Sumber: