Rekam Jejak Perjuangan Siti Walidah atau Nyai Ahmad Dahlan Dalam Membesarkan Muhammadiyah dan Aisyiyah

Rekam Jejak Perjuangan Siti Walidah atau Nyai Ahmad Dahlan Dalam Membesarkan Muhammadiyah dan Aisyiyah

Kajian Islam. Rekam jejak perjuangan Nyai Ahmad Dahlan --

Kajian Islam. Radar Seluma. Disway.id - Sejarah lahirnya Aisyiyah sebagai bagian dari Muhammadiyah tidak terlepas dari peran sentral Nyai Ahmad Dahlan, sang pejuang emansipasi perempuan.
Siti Walidah atau Nyai Ahmad Dahlan yang lahir pada 3 Januari 1872 di Kauman, Yogyakarta. 
Ia adalah istri pendiri Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan, juga salah satu tokoh emansipasi perempuan Indonesia abad ke-20 atau semasa era pergerakan Nasional, yang diperjuangkannya melalui Aisyiyah. 
 
Nyai Ahmad Dahlan selalu setia mendampingi suaminya dan Muhammadiyah.
Bahkan, setelah K. Ahmad Dahlan meninggal dunia pada tahun 1923, ia terus aktif di Muhammadiyah dan Aisyiyah, hingga Nyai Ahmad Dahlan wafat pada 31 Mei 1946 setelah turut memberikan sumbangsih kepada tokoh-tokoh Bangsa yang sedang berjuang mempertahankan kemerdekaan saat itu.
 
 
Berikut ini rekam jejak dan sejarah hidup Nyai Ahmad Dahlan:
 
Pertama: Kelahiran 
 
Lahir dengan nama Siti Walidah pada 3 Januari 1872 di Kauman, kampung yang berada di dalam lingkungan Kraton Yogyakarta ngoyogyakarta Hadiningrat. Ayahnya, K.H. Muhammad Fadli, adalah seorang Ulama besar dan masih berkerabat dengan keluarga Istana Kraton.
 
Kedua: Menikah 
 
Tahun 1889, Siti Walidah melangsungkan perkawinan dengan K. H Ahmad Dahlan yang masih terhitung kerabat dengannya yang tak lain masih saudara sepupunya.
Setelah menikah, ia lebih dikenal dengan nama Nyai Ahmad Dahlan dengan di karuniai 6 orang anak 4 laki-laki dan 2 perempuan.
 
 
Ketiga; Sopo Treano
 
Nyai Ahmad Dahlan bersama suaminya K. H Ahmad Dahlan mendirikan Sopo Tresno pada 1914, tepatnya dua tahun setelah Muhammadiyah berdiri. 
Sopo Tresno adalah semacam kelompok diskusi untuk mendalami makna Al-Qur'an, terutama ayat-ayat tentang perempuan. 
Selain itu, Sopo Tresno juga menjadi wadah bagi kaum perempuan untuk belajar membaca dan menulis serta mempelajari berbagai ilmu pengetahuan baik ilmu Agama maupun non formal
 
 
Ketiga: Aisyiyah 
 
Sopo Tresno semakin besar dan anggotanya pun kian bertambah. 
Maka, Siti Walidah dan K.H Ahmad Dahlan memutuskan untuk mengganti nama perkumpulan ini menjadi Aisyiyah, diresmikan pada tanggal 22 April 1917. Dan Nyai Ahmad Dahlan ditunjuk sebagai pemimpin pertama.
 
Keempat: Emansipasi Wanita
 
Pada tahun 1922, Aisyiyah resmi menjadi bagian dari Muhammadiyah secara organisasi. 
Dan sejak itu berdirilah sekolah-sekolah khusus perempuan di bawah naungan Aisyiyah. 
Nyai Ahmad Dahlan pun semakin giat memperjuangkan emansipasi wanita dan Ia tidak setuju dengan konsep patriarki dan menilai bahwa  seorang istri adalah mitra bagi suaminya. 
Nyai Ahmad Dahlan juga menentang praktik kawin paksa yang sangat merugikan kaum perempuan. 
 
 
Kelima: Memimpin Kongres
 
Tahun 1923, K.H. Ahmad Dahlan wafat. Dan Nyai Ahmad Dahlan melanjutkan perjuangan suaminya, baik di Aisyiyah maupun Muhammadiyah dan Nyai Ahmad Dahlan tidak ingin menjadi lemah namun justru bangkit untuk melanjutkan perjuangan sang suami KH Ahmad Dahlan. 
 
Sehingga Pada tahun 1926. ia bahkan memimpin Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya. 
Nyai Ahmad Dahlan adalah wanita pertama yang memimpin pertemuan besar seperti ini. 
Kiprahnya pun diberitakan oleh berbagai surat kabar kala itu.
 
Mengiringi Muhammadiyah yang kian berpengaruh dalam nuansa pergerakan Nasional, Aisyiyah juga semakin besar. Anggotanya semakin bertambah banyak. Maka, dibukalah cabang-cabang Aisyiyah di berbagai daerah di Indonesia. Nyai Ahmad Dahlan memimpin Aisyiyah hingga tahun 1934.
 
 
Keenam: Dilarang Jepang
Sejak tahun 1942, wilayah Indonesia bukan lagi di bawah penjajahan Belanda, digantikan oleh pemerintahan militer Jepang. 
Sehingga, Aisyiyah kemudian dilarang oleh pemerintah Dai Nippon pada tahun 1943. Kendati begitu, Nyai Ahmad Dahlan tak lantas diam.
Ia bekerja di sekolah-sekolah bentukan Jepang agar bisa mendidik langsung anak-anak Indonesia.
 
Selain itu, Nyai Ahmad Dahlan juga menentang sejumlah ritual-ritual yang dipaksakan pemerintah militer Jepang kepada rakyat Indonesia, termasuk menyanyikan lagu kebangsaan Jepang, menghormat ke arah matahari serta bendera Jepang, dan lain-lain.
 

Kajian Islam. Nyai Ahmad Dahlan tokoh perjuangan Emansipasi wanita
 
Ketujuh: Masa Revolusi Fisik
 
Setelah Indonesia Merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, 
Belanda datang lagi dengan maksud ingin kembali menguasai Negara Republik Indonesia ini. 
Untuk mempertahan Negara Kesatuan Republik Indonesia Nyai Ahmad Dahlan turut berjuang mempertahankan kemerdekaan dan sering dimintai Nasihat oleh para tokoh bangsa termasuk Presiden Sukarno atau Panglima Besar Jenderal Soedirman.
 
Tak hanya itu, ketika tentara dan rakyat Indonesia berjuang mempertahankan Kemerdekaan, Nyai Ahmad Dahlan kerap menyediakan rumahnya sebagai tempat berlindung, juga menyiapkan masakan untuk para pejuang. 
Ia juga mengimbau kepada para mantan muridnya agar bergabung dengan angkatan perang RI.
 
Kedelapan: Meninggal Dunia
 
Setelah perjalanan panjang perjuangan dalam membesarkan Muhammadiyah dan Aisyiyah sehingga berkembang pesat dan sekolah-sekolah Muhammadiyah telah banyak berduri begitu juga cabang di berbagai daerah baik Muhammadiyah dan Aisyiyah dan berhasil memperjuangkan emansipasi wanita Nyai Ahmad Dahlan meninggal dunia di Kauman, Yogyakarta, tanggal 31 Mei 1946, dalam usia 74 tahun. Pemakaman jenazahnya di lingkungan Masjid Gede Kauman dihadiri oleh sejumlah tokoh Nasional, juga para menteri yang mewakili pemerintah RI.
 
Kesembilan: Pahlawan Nasional
 
Melalui Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 42/TK Tahun 1971, Pemerintah Republik Indonesia menetapkan Nyai Ahmad Dahlan sebagai pahlawan Nasional, gelar serupa yang juga disematkan kepada suaminya K.H Ahmad Dahlan.
Aisyiyah yang didirikannya yang sempat dilarang pada masa pendudukan Jepang terus berkembang serta masih eksis hingga saat ini.(djl) Tamat.
 

Sumber: