Pemilik Sertifikat Tanah Terbitan 1961–1997 Tidak Berlaku Lagi? Ini Penjelasannya

Pemilik Sertifikat Tanah Terbitan 1961–1997 Tidak Berlaku Lagi? Ini Penjelasannya

Sertifikat tanah--




NASIONAL - Masyarakat yang masih memiliki sertifikat tanah terbitan tahun 1961 hingga 1997 diimbau untuk segera melakukan pembaruan atau pemutakhiran data menjadi sertifikat tanah elektronik. Imbauan ini disampaikan langsung oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid.

Menurut Nusron, langkah konversi sertifikat lama ke bentuk elektronik sangat penting guna mencegah potensi konflik agraria di masa mendatang, khususnya penyerobotan lahan yang dapat merugikan pemilik tanah yang sah.
Ia menjelaskan bahwa sebagian besar sertifikat tanah lama belum dilengkapi dengan peta kadastral yang jelas. Akibatnya, lokasi dan batas bidang tanah sering kali tidak diketahui secara pasti sehingga rawan menimbulkan sengketa.

“Ada sertifikatnya, tapi di belakangnya tidak ada peta kadastral. Itu berpotensi tidak diketahui di mana lokasinya dan bisa diserobot orang,” kata Nusron, dikutip dari Antara, Sabtu (20/12/2025).

Nusron menegaskan, sertifikat tanah keluaran tahun 1961–1997 perlu segera dikonversi ke sertifikat elektronik yang telah terintegrasi dengan peta kadastral. Dengan begitu, pemilik lahan dapat mengetahui secara akurat letak dan batas tanahnya, sekaligus meminimalkan risiko tumpang tindih kepemilikan.

Ia juga menilai bahwa persoalan pertanahan di Indonesia masih tergolong kompleks, terutama di wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi seperti Jabodetabek. Banyak kasus sengketa muncul akibat ketidaktahuan pemilik terhadap riwayat dan batas tanah yang dimiliki.

“Di Jabodetabek, persoalan tumpang tindih sertifikat cukup tinggi karena pemilik lama sudah pindah, sementara pendatang baru tidak mengetahui sejarah tanah tersebut,” ujarnya.

Saat ini, sertifikat tanah kategori KW 4, 5, dan 6 yang diterbitkan pada periode 1961–1997 tercatat mencapai sekitar 13,8 juta bidang. Dari jumlah tersebut, persoalan tumpang tindih paling banyak terjadi di kawasan Jabodetabek. Sementara di daerah, konflik serupa relatif lebih minim karena masyarakat setempat masih memahami batas dan riwayat kepemilikan lahan.

Untuk mendukung penyelesaian masalah pertanahan, Kementerian ATR/BPN juga memanfaatkan teknologi digital seperti aplikasi BHUMI ATR/BPN dan sistem koordinat berbasis peta. Melalui digitalisasi sertifikat, pemerintah berharap penyelesaian sengketa tanah dapat dilakukan dengan lebih cepat, transparan, dan akurat.



Sumber: