Alasan Najis Liur Anjing dalam Islam. Llau segi Kesehatan?
Pelacur menolong anjing--
Sejarah anjing peliharaan dan interaksinya dengan manusia diperkirakan sudah berlangsung sejak 14.000 hingga 32.000 tahun lalu. Sebuah salinan sejarah dari Bangsa Sumeria kuno telah menetapkan hukum tentang akibat gigitan anjing pada tahun 1930 sebelum Masehi. Hal ini menunjukkan bahwa risiko kematian dan gigitan anjing telah menjadi hubungan akibat-sebab yang dipastikan bahayanya sejak 4000 tahun yang lalu (Tarantola, 2017, Four Thousand Years of Concept Relating to Rabies in Animals and Humans, Its Prevention and Its Cure, Tropical Medicine and Infectious Disease [2].5).
Konsep penyakit rabies juga dicetuskan oleh ahli pengobatan kuno yang bernama Galen dengan ungkapannya yang menarik. Galen mencapai simpulan bahwa hanya anjing yang menjadi inang alami rabies dan setetes air liur anjing rabies di kulit manusia dapat menyebabkan hidrofobia pada manusia. Hidrofobia merupakan kondisi takut terhadap air, padahal umat Islam sangat membutuhkan air untuk bersuci dalam rangka beribadah.
Kedokteran modern membuktikan bahwa reseptor manusia memiliki kesamaan dengan anjing dalam penularan rabies. Reseptor adalah tempat perlekatan virus pada tubuh yang akan menimbulkan masuknya penyakit. Kesamaan reseptor inilah yang membuat manusia secara khusus berisiko tertular penyakit dari anjing bila berdekatan dengannya. Dengan bukti inilah, relevansi ajaran Islam dengan menjauhi anjing bila tidak ada kepentingan yang syar’i memiliki titik temu.
BACA JUGA: Baru Gabung Koalisi, PAN Ngotot Usung Erick Thohir Cawapres
Para ahli juga mengemukakan bahwa semua anjing dapat menjadi pembawa penyakit rabies. Penelitian di Nigeria membuktikan bahwa dalam tubuh anjing yang sehat pun dapat ditemukan antigen virus rabies di liur dan otaknya (Mshelbwala, 2014, Prevalence of Rabies Antigen in the Saliva and Brains of Apparently Healthy Dogs Slaughtered for Human Consumption in Abia State, Nigeria, Department of Veterinary Medicine Ahmadu Bello University, Zaria, Nigeria).
Sumber: ustadz yuhansyah nurfauzi