Awal Mula Nama Desa Sakaian, Daerah Sawah yang Kini Jadi Permukiman

 Awal Mula Nama Desa Sakaian,  Daerah Sawah yang Kini Jadi Permukiman

Desa Sakain Seluma--

 

 

 

Desa Sakaian, Kecamatan Lubuk Sandi adalah salah satu wilayah yang terletak di Kecamatan Lubuk Sandi. Ada salah satu kejadian masa lampau yang membuat wilayah yang terletak di sepanjang jalan nasional ini dinamai Desa Sakaian. Cukup unik dan menarik. Bagaimana sejarah Desa Sakaian, berikut liputannya.

 

ANDRY DINATA - Radar Seluma

 

Desa Sakaian berdiri tahun 2010 pecahan dari Desa Gunung Agung, Kecamatan Lubuk Sandi. Sebelum berdiri menjadi desa, Sakaian merupakan wilayah dusun dari Gunung Agung. Seiring dengan waktu, Sakaian terus berkembang. Sejak dimekarkan jumlah masyarakatnya terus bertambah. Kemudian melalui Dana Desa (DD) Pemerintah Desa Sakaian terus melakukan terobosan-terobosan yang tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Luas wilayah Sakaian adalah 493 hektare, jumlah penduduk 144 Kepala Keluarga (KK) dan jiwa sebanyak 450 orang. Penduduk sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani. Sejak berdiri Sakaian baru dua kali melaksanakan Pemilihan Kepala Desa (Pilkades).

Saat dimekarkan Sakaian dipimpin Penjabat (Pj) Kades yaitu Herman Yuri. Delapan bulan selanjutnya atau tepatnya 2011, Sakaian melaksanakan Pilkades pertama, Suparmanto menjadi Kades pertama. Lalu tahun 2017 usai Pilkades Suparmanto kembali terpilih menjadi Kades Sakaian.

Sakaian juga memiliki potensi wisata. Pemerintah desa mencatat ada dua air terjun di wilayah desa ini. Kemudian Sakaian juga menjadi salah satu desa yang mendapatkan program pembangunan embung desa dari pemerintah pusat. Yang kini dimanfaatkan sebagai tempat pemancingan ikan. "Sakaian dulunya merupakan dusun yang berada di Selatan Desa Gunung Agung yang berbatasan langung dengan Desa Rena Panjang," kata Suparmanto Kades Sakaian.

Nama Sakaian berasal dari kata Nyakai yang dalam bahasa Serawai digunakan untuk perumpamaan ikan yang banyak. Sebelum menjadi permukiman, Sakaian merupakan hamparan persawahan. Pengairan sawah bersumber dari tebat atau embung. Dialirkan melalui irigasi yang berada persis di tengah jalan nasional saat ini.

Tahun 1970 embung tidak maksimal lagi mengalirkan air ke area persawahan masyakarat. Sehingga irigasinya diarahkan ke sungai. Dan pada saat itu, seiring jumlah penduduk yang bertambah banyak masyarakat yang melakukan alih fungsi sawah ke permukiman.

"Ya di zaman Pasirah Cudak tebatnya tidak bisa mengairi persawahan di seberang jalan. Maka siring dialirkan ke sungai. Lalu yang dulunya persawahan beralih fungsi menjadi pemukiman warga," ceritanya.

Irigasi atau siring yang mengalirkan air ke sawah ini sempat banjir. Setelah banjir muncul bebatuan kecil yang jumlahnya banyak. Namun tanpa diketahui penyebabnya batu ini hilang begitu saja. "Karena banyak batu kecil-kecil awalnya disebut nyakai batu," tuturnya.

Aliran air dari embung dipindahkan ke sungai membuat sungai meluap ketika hujan. Momen itulah yang dimanfaatkan masyarakat untuk menangkap ikan. Baik menggunakan jala, dan juga perangkap bubu. Masyarakat banyak mendapatkan ikan Nilem atau yang dikenal ikan Palau.

"Setelah itu jika banjir maka banyak yang mencari ikan. Banyak yang dapat ikan Palau. Dan jumlah ikan yang didapat banyak," tutupnya. Karena ikan yang didapat melimpah tidak sedikit masyarakat memperoleh rezeki dari hasil menjual ikan. Seiring dengan berkembangnya bahasa, dari awalnya Nyakai selanjutnya disebut Sakaian.(**/prw)

 

Sumber: