Dosen Swasta Masih Jadi Kelas Dua dalam Pendidikan Tinggi Indonesia?

Dosen Swasta Masih Jadi Kelas Dua dalam Pendidikan   Tinggi Indonesia?

dosen--

 

Pengantar

Sistem pendidikan tinggi di Indonesia sejatinya dibangun atas asas kesetaraan, meritokrasi, dan pemerataan kesempatan. Namun, realitas sosial-birokratis menunjukkan ketimpangan yang kian melebar antara dosen Aparatur Sipil Negara (ASN) dan dosen swasta. Walaupun keduanya menjalankan tanggung jawab dan tridarma yang sama, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian,

BACA JUGA:Honda Brio Mobil Desain Canggih dan Mewah, Model Baru Cocok untuk Mobil Perkantoran Hemat Biaya BBM

BACA JUGA:Toyota Agya Mobil Desain Simpel dan Canggih yang Populer di Kalangan Masyarakat Indonesia

namun penghargaan dan jaminan kesejahteraan yang mereka terima sangat timpang. Penelitian lapangan dan wawancara mendalam yang dilakukan oleh kami di tiga provinsi, antara lain Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Riau telah menunjukkan bahwa struktur regulasi dan kebijakan negara masih cenderung berpihak pada dosen ASN, sementara dosen swasta diperlakukan sebagai pelengkap sistem pendidikan tinggi, bukan sebagai mitra sejajar.

Sertifikasi Sama, Penghargaan Tidak Sama Baik dosen ASN maupun dosen swasta diwajibkan mengikuti sertifikasi dosen (serdos) sebagai bukti profesionalitas dan kompetensi akademik. Namun, pengakuan formal ini tidak diikuti oleh kesetaraan dalam penghargaan finansial dan karier.

Rancangan Peraturan Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Nomor 23 Tahun 2025 mempertegas kesenjangan tersebut. Regulasi ini memberikan tunjangan kinerja (Tukin) bagi ASN di lingkungan kementerian, tetapi tidak mencakup dosen swasta yang memiliki status kepegawaian di bawah yayasan.

“Ini menunjukkan bahwa negara masih mengukur profesionalitas dosen berdasarkan status administratif, bukan kontribusi akademik,” ujar Ruben Cornelius Siagian, peneliti CITA. “Padahal, jika kinerja dan beban tridarma menjadi dasar, seharusnya tunjangan berbasis capaian, bukan status ASN atau non- ASN.”

Meritokrasi dan Keadilan Distributif Dalam perspektif teori meritokrasi yang dijelaskan pada artikel penelitian yang ditulis oleh Mijs, J. J. (2016). dan keadilan distributif yang ditulis oleh Mishchuk, H., Samoliuk, N., & Bilan, Y. (2019), keadilan sosial tidak dapat diukur semata dari status struktural, tetapi dari distribusi manfaat

berdasarkan kontribusi dan kebutuhan. 12

Teori keadilan distributif Rawlsian menegaskan bahwa ketimpangan hanya dapat diterima jika memberi keuntungan bagi pihak yang paling kurang beruntung. 3 Namun, sistem pendidikan tinggi

1 Mijs, “The unfulfillable promise of meritocracy: Three lessons and their implications for justice in education.”

2 Mishchuk dkk., “Measuring social justice in the light of effectiveness of public distributive policy.”

Sumber: