Reporter: Juli Irawan
Radarseluma.disway.id - Waktu berjalan cepat. Tak terasa sudah hampir setahun aku menjalani kehidupan ganda ini—siang menjadi perempuan biasa yang berbaur di antara keramaian kota, malam menjelma bayangan dirinya sendiri, tanpa nama, tanpa cerita. Setiap hari, aku membawa luka yang kian dalam, tersembunyi di balik senyum palsu dan make-up tebal yang kupakai bukan untuk percaya diri, tapi untuk menyembunyikan rapuhnya batinku.
Tak ada yang tahu siapa aku sebenarnya. Bahkan aku pun mulai tak mengenali siapa diri ini. Hidupku seperti panggung yang tak pernah berhenti menampilkan adegan yang sama pura-pura kuat, pura-pura bahagia, pura-pura tak peduli. Padahal, setiap malam, saat ku tutup pintu kamar hotel dan tersisa hanya diriku sendiri, air mata jatuh tanpa bisa dicegah.
Sampai suatu malam, ketika aku duduk sendiri di lobi hotel. Tidak sedang menunggu klien, hanya diam, menatap kosong ke arah pintu keluar, berharap waktu berlalu lebih cepat. Lalu dia datang. Seorang pria yang tak kuperhatikan sebelumnya. Ia mengenakan batik sederhana, ransel di punggungnya. Bukan tipikal pria yang biasa menghampiriku.
"Sendirian, Mbak?" tanyanya pelan, sopan.
Aku menoleh, hanya mengangguk. Sudah terbiasa dengan pertanyaan seperti itu, tapi nada suaranya berbeda. Tak ada rayuan. Tak ada tatapan menilai seperti biasanya. Justru tatapannya bersih, jujur. Seperti menatapku sebagai manusia, bukan barang dagangan.
BACA JUGA:Kisah Nyata: Hutang Keluarga Menjerumuskan Ku “Awal dari Semua Beban” (Bagian 1)
Namanya Raka. Ia bilang sedang menunggu temannya yang menginap di hotel itu. Karena melihatku sendiri, ia hanya ingin mengajak ngobrol untuk membunuh waktu. Aku semula curiga, tapi saat kami berbincang, aku mulai merasa nyaman. Dua jam berlalu begitu cepat. Kami bicara tentang hal-hal ringan—kopi, musik, film, bahkan makanan favorit masa kecil. Tak ada topik vulgar, tak ada kode. Hanya dua orang yang saling mengisi kesepian.
Malam itu, aku tertawa. Tertawa yang tulus. Rasanya aneh, seperti disentuh sinar setelah lama tenggelam dalam gelap. Ada sesuatu dalam dirinya yang menyentuh sisi diriku yang selama ini terkubur Nisa yang dulu, yang punya mimpi, punya rasa percaya, punya harapan.
Kami bertukar nomor. Seminggu kemudian, kami bertemu lagi. Dan lagi. Setiap pertemuan dengannya menjadi oase dalam kehidupanku yang gersang. Tapi aku sadar, ada satu hal besar yang kusimpan rapat-rapat: aku belum pernah jujur siapa diriku sebenarnya. Aku takut kejujuran itu akan mengakhiri segalanya.
Dan akhirnya, malam itu pun datang.
Aku bersama klien lama di hotel yang sama. Dibalut gaun malam yang mencolok, make-up tebal, dan senyum yang tak lagi berarti apa-apa. Saat berjalan menuju lift, aku melihat Raka berdiri di lobi. Matanya menangkapku. Wajahnya membeku. Ada keterkejutan, kesedihan, dan kekecewaan yang tak bisa ia sembunyikan. Klienku menggandeng lenganku dengan santai, seolah memperlihatkan siapa diriku sebenarnya.
Aku ingin berteriak. Ingin menjelaskan. Tapi tubuhku membeku. Malam itu aku menangis sejadi-jadinya di kamar hotel. Untuk pertama kalinya, aku membenci diriku sendiri. Bukan karena malu, tapi karena menyadari aku masih punya harga diri, dan lebih dari itu, aku masih ingin dicintai... bukan disewa.
BACA JUGA:Kisah Nyata: Hutang Keluarga Menjerumuskan Ku “Langkah Pertama yang Menghancurkan” (Bagian 2)
Esoknya, aku mencoba menghubungi Raka. Tak ada respons. Aku kirim pesan panjang. Ku tulis semuanya tanpa membela diri, tanpa mencoba membenarkan, hanya kejujuran. Tentang keluarga, tentang hutang, tentang keputusasaan, tentang luka yang kusimpan sendiri selama ini.