radarseluma.disway.id - Pungutan liar (pungli) dan gratifikasi merupakan praktik yang merusak, merugikan masyarakat, dan merongrong fondasi moral serta hukum suatu negara. Di berbagai belahan dunia, upaya keras dilakukan untuk memberantas praktik korupsi ini dengan memberlakukan hukuman yang tegas bagi para pelakunya.
Dalam KUHP, pelaku pungli dijerat dengan Pasal 368 ayat 1. Siapapun yang mengancam atau memaksa orang lain untuk memberikan sesuatu terancam pidana penjara paling lama sembilan tahun.
BACA JUGA: Setoran Pegawai di Kementan Capai Rp 13.9 M, Modus Pungli di Kementan
BACA JUGA: Terdakwa Pungli Cucu Wibowo Banding, JPU Kejaksaan Negeri Seluma Juga Ajukan Memori Banding
Apakah pemberi gratifikasi diberi sanksi? Tidak semua pemberi gratifikasi dapat diberikan sanksi, kecuali memenuhi unsur tindak pidana suap. Ketentuan ini diatur pada UU Tipikor Pasal 5 ayat (1) dengan ancaman hukuman penjara antara 1 sampai 5 tahun dan Pasal 13 dengan ancaman hukuman penjara maksimal 3 tahun.
Pungli dapat dikelompokkan ke dalam tindak pidana khusus (korupsi) dan tindak pidana umum (pemerasan). Riset Hutur Pandiangan (2020) menyatakan, pungli kebanyakan dilakukan oleh aparat dan digolongkan sebagai korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sementara itu, riset lain membatasi pungli sebagai kejahatan jabatan
Tindak Pidana Korupsi
Pungli, yang seringkali terjadi di sektor publik, dan gratifikasi, yang umumnya berkaitan dengan penerimaan imbalan ilegal atas suatu layanan atau pengaruh, ditegaskan sebagai tindak pidana korupsi. Dalam banyak yurisdiksi, hukuman bagi pelaku korupsi menjadi landasan penting dalam memberikan efek jera serta menegakkan keadilan.