pindah ke Baghdad. Kisah Abu Nawas
di pusat peradaban Dinasti Abbasyiah
berkumpul dengan para penyair.
Dilakuk Kehebatannya menulis puisi, Abu Nawas dapat berkenalan dengan para bangsawan. Kedekatannya dengan para bangsawan puisinya pada masa itu berubah, cenderung memuja dan menjilat penguasa.
Abu Nawas menceritakan dalam Al-Wasith fil Adabil Arabi wa Tarikhihi. Abu Nawas digambarkan sebagai penyair multivisi, penuh canda, berlidah tajam, pengkhayal ulung, dan tokoh terkemuka sastrawan angkatan karya-karya ilmiahnya justru jarang dikenal di dunia intelektual. Sebagai orang bertingkah lucu dan tidak lazim menulis puisi menarik perhatian Khalifah Harun al-Rasyid. Melalui musikus istana, Ishaq al-Wawsuli, Abu Nawas dipanggil untuk menjadi penyair istana (syairul bilad).
Jenaka menjadikan perjalanan hidupnya benar penuh warna bermain dengan kata dengan selera humor yang tinggi seakan menjadi legenda tersendiri dalam khazanah peradaban dunia. Pasalnya, ketika Abu Nawas membaca puisi Kafilah Bani Mudhar yang dianggap menyinggung Khalifah. Dirinya berpaling dari Khalifah dan mengabdi kepada Perdana Menteri Barmak dia meninggalkan Baghdad jatuh pada tahun 803 M. Lalu pergi ke Mesir menggubah puisi untuk Gubernur Mesir, Khasib bin Abdul Hamid al-Ajami.
BACA JUGA: Hujan, Petani Sawah Seluma Sumringah. Ini Yang Dilakukan
Beberapa kemudian dia kembali ke Baghdad setelah Harun al-Rasyid meninggal dan digantikan oleh Al-Amin. Sejak mendekam di penjara, syair-syair Abu Nawas menjadi religius sangat pongah dengan kehidupan duniawi yang penuh glamor dan hura-hura sekarang pasrah kepada kekuasaan Allah. Pencapaiannya dalam menulis puisi diilhami kegemarannya melakukan maksiat, justru di jalan gelap, Abu Nawas nilai ketuhanan. Sajak tobatnya bisa ditafsirkan sebagai jalan panjang menuju Tuhan.