Menuju 2024, Isu Politik Identitas Bakal Lebih Tajam?
--
Adiak sanak disway Radar Seluma, Tahun 2024 Pemilu kembali digelar. Pemilihan Capres, Gubernur, Bupati hingga DPRD telah diagendakan. Ujaran kebencian dengan politik identitas masih menjadi topik yang perlu diwaspadai. Terkhusus di Bumi Serasan Seijoan. Ini juga merupakan isu nasional yang terjadi disetiap daerah di Indonesia. Bukan hanya di Kabupaten Seluma, isu politik identitas juga terjadi hingga tingkat pusat. Terutama menjelang tahun politik di Tanah Air seperti saat ini. Topik-topik itu mewarnai media sosial dan menjadi hal yang ramai dibicarakan. Bahkan isunya sudah mulai muncul dan berkembang pada saat ini. Yakni bertepatan dengan telah munculnya beberapa nama balon presiden 2024 mendatang.
Ini sudah pernah terjadi pada pemilu sebelumnya. Peningkatan ujaran kebencian dalam ruang media sosial semakin mengkhawatirkan. Pengguna mudah sekali terpancing untuk melemparkan kebencian berkaitan dengan masalah politik, program pemerintah, dan urusan agama. Kita pernah sama-sama menjadi saksi, bagaimana tokoh lokal hingga nasional terjerat kasus lantaran ujarannya ataupun cuitannya di media sosial.
Data terkait ujaran kebencian dari media sosial dalam kurun 2018-2019, jumlah berita bohong yang telah diidentifikasi dari Agustus 2018 sampai April 2019 sebanyak 1.731 konten. Bahkan, selama April 2019 saja, konten berupa kabar bohong sehingga memicu ujaran kebencian sebanyak ribuan unggahan. Di media sosial Facebook, ujaran kebencian terbilang tinggi. Bahkan, pada triwulan I-2020, setelah pemilu digelar terdapat 9,6 juta konten ujaran kebencian. Sementara di Twitter, muncul dua kata kunci trending yang identik dengan masing-masing pasangan calon presiden saat itu. Jika pembaca masih ingat, menjelang Pemilihan Presiden 2019, pendukung pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin identik dengan sebutan ”kecebong”, sedangkan pendukung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sebagai ”kampret”. Penggunaan frasa dominan dari pihak yang berkonflik dapat dikelompokkan menurut tujuannya, mulai dari hinaan, tuduhan, umpatan, bahkan mengintimidasi dan mendorong tindakan kekerasan. Kondisi serupa dapat terjadi di tahun politik menjelang Pemilu 2024. Apalagi, media sosial yang berkembang setiap tahunnya bahkan memiliki instrumen yang lebih lengkap dan berpengaruh.
Dibumi serasan seijoan ini sendiri pada 2019 lalu tidak luput dari isu yang sama, yakni berkenaan dengan politik identitas. Dimana pada saat itu muncul frasa putra daerah dan pendatang. Yang juga sempat memanas dan menjadi isu hangat. Karena pada saat itu Calon Bupati berasal dari beragam suku. Mulai dari asli suku serawai, jawa hingga batak. Isu ini berkembang dimasyarakat dan berpotensi memecah bela masing-masing pendukung. Sehingga, konflik identitas ini masih menjadi tantangan untuk menghadapi tahun politik karena ujaran kebencian membuat masyarakat terpecah dalam kelompok tertentu. Apalagi, media sosial saat ini jauh lebih berkembang dan penggunanya telah meningkat dibanding 5 tahun lalu.
Penulis sendiri melihat media sosial telah menjadi instrumen komunikasi yang lengkap. Sehingga potensi ujaran kebenciannya akan lebih gahar. Meskipun publik makin lama makin cerdas, tetap perlu rekomendasi akademik untuk memperbaiki situasi. Pemberitaan yang viral di medsos juga perlu disikapi dengan pemberitaan media massa yang bijak.
Namun kelemahannya saat inim industri media masih berbasis rating, diklaim dari apa yang masyarakat suka. Konten yang diproduksi akan terus seperti itu karena media massa tidak ada pilihan. Kreativitas hingga idealisme praktisi media akan terhambat ketika konten itu tidak diterima rating atau minim pembaca/penonton. Sehingga media massa cendrung akan menyajikan apa yang disukai pembaca dan penonton ketimbang mengedepankan fakta aktual. (ian)
Sumber: