WALHI Tegaskan Perlawanan terhadap Ekonomi Ekstraktif
--
Nasional – Indonesia saat ini menghadapi krisis ekologis yang semakin parah akibat arah pembangunan nasional yang berorientasi pada investasi ekstraktif. Proyek food estate yang digadang-gadang sebagai solusi ketahanan pangan justru memicu deforestasi ratusan ribu hektare hutan, merusak lahan gambut, hingga merampas tanah adat di Papua dan Kalimantan.
Tak hanya itu, hilirisasi nikel yang dipromosikan pemerintah juga menimbulkan pencemaran, kerusakan pulau kecil, dan penghancuran ekosistem pesisir di Maluku Utara maupun Papua Barat.
Di sisi lain, kebijakan pro-investasi melalui UU Cipta Kerja dan UU Minerba memperlemah instrumen pengendalian pencemaran. Lemahnya penegakan hukum juga memberi ruang bagi korporasi untuk melakukan pembakaran hutan, tambang ilegal, hingga perampasan wilayah kelola rakyat. Dampaknya, kualitas lingkungan hidup menurun drastis, bencana ekologis meningkat, dan ribuan warga mengalami kriminalisasi saat mempertahankan ruang hidupnya.
Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup (PNLH) XIV WALHI yang berlangsung 18–24 September 2025 di Pulau Sumba menegaskan perlawanannya terhadap sistem ekonomi kapitalistik ekstraktif dan oligarki politik yang dianggap sebagai akar kerusakan lingkungan.
Forum tersebut memilih Boy Jerry Even Sembiring sebagai Direktur Eksekutif Nasional WALHI periode 2025–2029 bersama tujuh anggota Dewan Nasional. Dengan mandat baru ini, WALHI meneguhkan diri sebagai rumah gerakan rakyat untuk menghentikan perampasan ruang hidup, melawan penghancuran ekologis, serta memperjuangkan hak rakyat atas lingkungan hidup yang sehat dan kedaulatan bangsa yang berkeadilan.
BACA JUGA:Petani Desa Gunung Anten Kini Rasakan Manfaat Reforma Agraria
BACA JUGA:Warga Tagih ke Pemda Seluma, Proyek Jembatan Rp3,2 Miliar di Desa Simpang
Sumber: