Kisah Nyata: Dari Pelayan Warung ke Perempuan Bayaran (Bagian 1)

Senin 21-04-2025,15:00 WIB
Reporter : juliirawan
Editor : juliirawan

Reporter: Juli Irawan 

Radarseluma.disway.id - Namaku Rina. Usia baru 20 tahun saat hidup mulai memperlihatkan wajah aslinya wajah yang keras, kejam, dan tak peduli pada mimpi. Aku lahir dan besar di sebuah kampung kecil di Jawa Tengah. Ayahku seorang buruh tani, ibuku kadang berjualan gorengan di depan rumah demi menambah penghasilan. Aku anak pertama dari tiga bersaudara, dan sejak kecil aku memupuk satu harapan: bisa sekolah tinggi dan membahagiakan orang tua.

Namun, semua itu kandas ketika aku duduk di kelas dua SMA. Ayah tiba-tiba jatuh sakit dan butuh biaya berobat yang tidak sedikit. Uang tabungan keluarga habis dalam hitungan minggu. Aku harus berhenti sekolah dan turun tangan membantu keluarga. Tak ada pilihan. Aku terlalu muda untuk menyerah, tapi kenyataan tak memberiku waktu untuk bersedih lama.

Melalui seorang tetangga, aku ditawari kerja di kota sebagai pelayan warung makan. Warungnya kecil tapi ramai, terletak di pinggir jalan raya, dekat terminal dan kos-kosan mahasiswa. Aku menerima tawaran itu dengan harapan bisa mengirim uang ke rumah setiap bulan.

Hari-hariku mulai berubah. Pagi-pagi sudah harus bersih-bersih, lanjut melayani pembeli, mencatat pesanan, bahkan mencuci piring saat pegawai dapur absen. Gajiku hanya enam ratus ribu rupiah per bulan tak sebanding dengan lelah dan sakit punggung yang ku derita setiap malam. Tapi aku bertahan, demi keluarga.

Dari sinilah awal perkenalanku dengan dunia yang tak kukenal. Seorang perempuan bernama Mbak Mira sering datang ke warung. Wajahnya cantik, selalu rapi dengan make-up yang mahal, rambut yang disemprot wangi, dan baju yang menggoda. Ia bukan pelanggan biasa. Ia datang sendirian, memesan teh manis atau mie rebus, duduk lama, dan kadang berbicara dengan pria-pria asing.

BACA JUGA:Kisah Nyata: Hutang Keluarga Menjerumuskan Ku “Awal dari Semua Beban” (Bagian 1)

Pemilik warung pernah membisiki aku dengan nada lirih, “Dia itu cewek malam. Banyak yang antri pakai dia.”

Aku tak benar-benar paham saat itu. Tapi rasa penasaran menggerogoti. Mbak Mira tampaknya sadar, dan mulai mendekatiku. Ia ramah, tak segan menanyai kabarku, dan bahkan sesekali memberiku tip tanpa alasan.

“Capek ya kerja begini, Dek?” katanya suatu sore ketika aku sedang duduk lelah di belakang warung.

Aku mengangguk sambil menyeka keringat. “Namanya juga cari makan, Mbak.”

Dia tersenyum miring. “Cari makan boleh, tapi jangan sampai nyiksa diri. Hidup itu buat dinikmati juga, bukan cuma dijalani.”

Kalimat itu menancap dalam. Entah kenapa, aku mulai terbuka padanya. Kami sering ngobrol setelah jam kerja. Dia mulai membawaku ke salon murah, ngajak nongkrong ke tempat makan yang belum pernah ku singgahi, bahkan memberiku lipstik. Aku sempat curiga, tapi juga menikmati perhatian itu. Aku tak pernah merasakan ‘diperhatikan’ seperti ini sebelumnya.

BACA JUGA:Kisah Nyata: Hutang Keluarga Menjerumuskan Ku “Langkah Pertama yang Menghancurkan” (Bagian 2)

Suatu malam, dia mengajakku ke kafe. Tempat itu berbeda dari warung. Musiknya keras, pencahayaannya redup, dan dipenuhi perempuan berpakaian mencolok serta pria-pria berdasi. Aku merasa seperti masuk dunia lain. Dunia yang tampak glamor tapi asing.

Kategori :