Sebelum Belanda menyambangi Tanah Pat Petulai, peradaban masyarakat Rejang sudah lebih maju dibandingkan dengan masyarakat lainnya. Hal ini dibuktikan dalam masyarakat Rejang telah memiliki pemerintahan masyarakatnya sendiri yang terdiri dari 5 orang tuwi kutei. Kutei merupakan suatu masyarakat hukum adat asli yang berdiri dan geneologis terdiri dari sekurang-kurangnya 10 hingga 15 keluarga atau rumah, sedangkan tuwi kutei merupakan kepala kutei yang dipilih berdasarkan garis keturunan pendiri petulai.
Dengan adanya sistem petulai tersebut, menandakan masyarakat Rejang sudah memiliki hukum adat yang dipatuhi oleh pendukungnya. Peradaban yang maju pada masyarakat Rejang juga ditandai bahwa suku Rejang telah memiliki aksara sendiri.
Sebagai alat penyampai informasi, aksara kaganga. Hingga saat ini, masyarakat Rejang yang asli masih memiliki peradaban yang menjunjung harga diri.
BACA JUGA: Segini Nih, Diperoleh Anthony Ginting di Indonesia Open 2023
Suku Rejang memiliki perbedaan yang mencolok dalam dialek penuturan bahasa. Dialek Rejang Kepahiang memiliki perbedaan dengan dialek Rejang di Kabupaten Rejang Lebong yang dikenal dengan dialek Rejang Curup, dialek Rejang Bengkulu Utara, dialek Rejang Bengkulu Tengah, dan dialek Rejang yang penduduknya di wilayah kabupaten Lebong. Secara kenyataan yang ada, dialek dominan Rejang terdiri tiga macam. Dialek tersebut adalah sebagai berikut:
Dialek Rejang Kepahiang (mencakup wilayah Kabupaten Kepahiang)
Dialek Rejang Curup (mencakup wilayah Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten Bengkulu Tengah, dan Kabupaten Bengkulu Utara)
Dialek Rejang Lebong (mencakup wilayah Kabupaten Lebong dan wilayah Kabupaten Bengkulu Utara yang berdekatan dengan wilayah Kabupaten Lebong)