Makna Hakiki Zuhud Menurut Ajaran Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani: Jalan Hidup Menuju Ridha Allah
Radarseluma.disway.id - Makna Hakiki Zuhud Menurut Ajaran Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani: Jalan Hidup Menuju Ridha Allah--
Reporter: Juli Irawan –Radarseluma.disway.id - Dalam tradisi Islam, zuhud merupakan salah satu nilai spiritual yang sangat ditekankan oleh para ulama dan sufi. Zuhud bukanlah sekadar meninggalkan dunia, melainkan menata hati agar tidak terpaut kepada dunia yang fana, serta menjadikan Allah SWT sebagai tujuan utama. Salah satu tokoh besar tasawuf yang banyak berbicara tentang hakikat zuhud adalah Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani.
Beliau, yang dikenal dengan gelar Sultanul Auliya, bukan hanya seorang ulama fiqh, tetapi juga seorang pembimbing ruhani yang menekankan keseimbangan antara syariat, tarekat, dan hakikat. Dalam kitab-kitabnya seperti Futuh al-Ghaib dan Al-Fath ar-Rabbani, beliau memberikan penjelasan mendalam tentang makna zuhud sebagai jalan untuk mencapai kedekatan dengan Allah SWT.
Lalu, apa makna hakiki zuhud dalam pandangan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani? Apakah berarti meninggalkan harta, pekerjaan, dan dunia sama sekali? Atau justru memiliki arti yang lebih dalam dan menyentuh dimensi batin manusia?
Zuhud dalam Perspektif Islam
Secara bahasa, zuhud berasal dari kata zahida – yazhadu – zuhdan, yang berarti meninggalkan atau tidak menyukai sesuatu karena dianggap rendah nilainya. Dalam terminologi syar’i, zuhud bermakna mengosongkan hati dari ketergantungan terhadap dunia, serta menjadikan akhirat sebagai tujuan utama.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى
Artinya: “Tetapi kamu (wahai manusia) lebih mengutamakan kehidupan dunia, padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al-A’la: 16–17)
Ayat ini menjadi dasar bahwa dunia hanyalah sementara, sedangkan akhirat kekal. Seorang yang zuhud bukan berarti membenci dunia secara mutlak, tetapi tidak terikat olehnya. Dunia hanya dijadikan sarana untuk meraih kebahagiaan abadi di akhirat.
Rasulullah SAW juga bersabda:
ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبُّكَ اللَّهُ، وَازْهَدْ فِيمَا عِنْدَ النَّاسِ يُحِبُّكَ النَّاسُ
Artinya: “Bersikaplah zuhud terhadap dunia, niscaya Allah akan mencintaimu. Dan bersikaplah zuhud terhadap apa yang dimiliki manusia, niscaya manusia akan mencintaimu.” (HR. Ibnu Majah)
Hadits ini menjelaskan bahwa zuhud membawa dua manfaat besar: mendapatkan cinta Allah dan cinta manusia.
BACA JUGA:Teladan Nabi-Nabi Kaya Raya namun Dermawan dan Sholeh: Harta yang Mengantarkan ke Surga
Makna Hakiki Zuhud Menurut Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Dalam pandangan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, zuhud bukan berarti meninggalkan harta benda dan hidup miskin, tetapi meninggalkan keterikatan hati pada dunia. Seorang kaya tetap bisa menjadi zuhud selama hartanya tidak menguasai hatinya dan ia gunakan untuk kebaikan.
Beliau berkata dalam Futuh al-Ghaib:
“Jadilah engkau di dunia ini seperti seorang musafir. Janganlah hatimu bergantung pada dunia. Peganglah dunia dengan tanganmu, tapi jangan masukkan ia ke dalam hatimu.”
Ada tiga tingkatan zuhud menurut Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani:
1. Zuhud dari hal-hal yang haram
Tidak terpaut pada kesenangan duniawi yang dilarang Allah, seperti riba, zina, dan maksiat lainnya.
2. Zuhud dari hal-hal yang halal tetapi berlebihan
Meninggalkan kesenangan dunia yang halal jika berpotensi melalaikan dari Allah, misalnya berfoya-foya dalam makanan, pakaian, atau harta.
3. Zuhud dari selain Allah
Tingkatan tertinggi adalah tidak terpaut kepada apapun selain Allah, bahkan terhadap amal ibadah sekalipun. Hati sepenuhnya berserah diri hanya kepada-Nya.
Dengan demikian, zuhud yang hakiki adalah ketika seorang hamba mampu mengendalikan dirinya dari cinta dunia yang berlebihan, sehingga Allah SWT menjadi pusat orientasi hidupnya.
Zuhud: Bukan Kemiskinan, Tapi Kebebasan Hati
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani menegaskan bahwa zuhud bukanlah hidup miskin atau menjauh dari kehidupan sosial. Beliau sendiri hidup dengan keseimbangan: beliau seorang ulama yang mengajar ribuan murid, berinteraksi dengan masyarakat, bahkan menolong fakir miskin dengan hartanya.
Hal ini selaras dengan sabda Nabi Muhammad SAW:
لَيْسَ الزُّهْدُ أَنْ لا تَمْلِكَ شَيْئًا، وَلَكِنَّ الزُّهْدَ أَنْ لا يَمْلِكَكَ شَيْءٌ
Artinya: “Zuhud itu bukan berarti engkau tidak memiliki apa-apa, tetapi zuhud adalah ketika apa yang engkau miliki tidak menguasaimu.” (HR. Ahmad)
Maknanya sangat jelas: zuhud adalah kebebasan hati dari perbudakan dunia. Seorang Muslim boleh kaya, sukses, dan berjabatan tinggi, tetapi hatinya tetap tenang, tidak sombong, tidak tamak, dan selalu mengingat Allah.
BACA JUGA:Nanguzubillah Minzalik: Ciri-ciri Haji dan Hajjah Pengabdi Syetan
Teladan Zuhud dari Kehidupan Para Nabi dan Ulama
Zuhud bukan hanya ajaran para sufi, tetapi teladan dari para nabi. Nabi Sulaiman AS diberi kerajaan megah, tetapi beliau tetap tawadhu dan tidak lalai dari Allah. Nabi Muhammad SAW juga memiliki kesempatan menguasai harta, namun beliau memilih hidup sederhana.
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani menekankan bahwa umat Islam harus mencontoh teladan ini: hidup di dunia, tetapi hati terikat pada akhirat. Dengan zuhud, seseorang bisa menjaga diri dari sifat rakus, iri, dan tamak yang menjadi akar kehancuran manusia.
Zuhud dalam ajaran Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani adalah mengosongkan hati dari cinta dunia yang berlebihan, bukan meninggalkan dunia sama sekali. Dunia hanyalah sarana, bukan tujuan. Seorang zuhud tetap boleh bekerja, mencari harta, dan berkeluarga, tetapi semuanya diarahkan untuk mencari ridha Allah SWT.
Zuhud yang hakiki memiliki tiga tingkatan: meninggalkan yang haram, tidak berlebihan dalam yang halal, dan mengosongkan hati dari selain Allah. Dengan sikap ini, seorang Muslim akan memperoleh cinta Allah, ketenangan batin, serta terhindar dari penyakit hati yang merusak.
Zuhud adalah jalan yang diajarkan oleh para wali dan ulama besar seperti Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, sebagai kunci meraih maqam spiritual yang tinggi. Ia bukan berarti melarikan diri dari dunia, tetapi menempatkan dunia pada posisinya yang benar: sebagai kendaraan menuju akhirat.
Di era modern ini, sikap zuhud sangat relevan untuk menyeimbangkan kehidupan. Ketika dunia menawarkan gemerlap materi, zuhud mengajarkan kita untuk tetap fokus kepada Allah. Seperti sabda Rasulullah SAW:
“Bersikaplah zuhud terhadap dunia, niscaya Allah akan mencintaimu.”
Semoga kita semua dapat mengambil hikmah dari ajaran zuhud ini, agar hidup kita senantiasa dipenuhi dengan ridha dan cinta Allah SWT. (djl)
Sumber: