CME Sebut Pertumbuhan Ekonomi Bukan Sekadar PDB

CME Sebut Pertumbuhan Ekonomi Bukan Sekadar PDB

Ilustrasi pertumbuhan ekonomi--

 

JAKARTA, Radarseluma.Disway.id — Center for Market Education (CME) menyoroti polemik seputar pengumuman Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2025 yang dinyatakan mencapai 5,12 persen. Sejumlah kalangan mempertanyakan angka ini. Namun, bagi CME perdebatan ini melupakan masalah yang lebih mendasar: ketergantungan berlebihan pada Produk Domestik Bruto (PDB) sebagai tolok ukur utama kesejahteraan ekonomi.

BACA JUGA:Toyota Hilux Mobil Ternama dan Canggih di Indonesia, Desain Double Cabin Mampu di Segala Medan

BACA JUGA:Toyota Fortuner Sport 2024 Hadir dengan Fitur Terbaru dan Spesifikasi Lengkap

Selama ini, kenaikan PDB kerap diperlakukan bak “angka keramat” penentu kesejahteraan. Padahal, PDB hanyalah agregat statistik yang belum tentu sejalan dengan realitas hidup masyarakat. Pertumbuhan PDB bisa saja terjadi bersamaan dengan stagnasi upah, penyusutan jumlah kelas menengah, meluasnya PHK, atau peningkatan biaya hidup. Dalam kondisi seperti ini, agaknya angka PDB tidak cukup menggambarkan apa yang dirasakan rumah tangga sehari-hari.

 

Peneliti CME sekaligus pengajar Universitas Prasetiya Mulya, Dr. Yohanes Berenika Kadarusman, menekankan perlunya transparansi dan integritas BPS dalam menyajikan data yang konsisten, relevan, dan mencerminkan kondisi sosial-ekonomi yang sebenarnya. “Validitas dan reliabilitas data harus dijaga agar publik tidak ragu dan tetap memiliki ekspektasi positif,” ujarnya.

Meski demikian, ia juga mengingatkan pentingnya mengaitkan angka-angka resmi dengan fenomena keseharian di masyarakat, seperti penyusutan kelas menengah, PHK, dan indikator sosial lainnya, agar data tidak kehilangan relevansi.

Chief Economist CME Alvin Desfiandi (anggota fakultas di Universitas Prasetiya Mulya) menilai kenaikan PDB tidak serta merta berarti ekonomi berada di jalur yang tepat. “Jika angka pertumbuhan didorong belanja pemerintah yang tidak produktif dan dibiayai defisit, dampaknya hanya sementara. Ke depan, hal ini malah berisiko memicu inflasi, salah alokasi sumber daya, dan meningkatnya pengangguran,” jelasnya.

Country Manager CME Alfian Banjaransari, menambahkan: “PDB adalah alat yang berguna, tapi tetap saja bukan kompas. Jika dijadikan satu-satunya patokan, kita mengabaikan dimensi yang lebih humanistik dalam kehidupan ekonomi—ketahanan rumah tangga, pemerataan kesempatan, dan sustainability pertumbuhan itu sendiri. Pertanyaannya bukan sekadar apakah PDB naik, melainkan apakah pertumbuhan itu berakar pada fondasi yang sehat dan mampu meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara berkelanjutan?”

BACA JUGA:Satlantas Polres Seluma Wajibkan Truk SawitPasang Jaring

BACA JUGA:Menteri Nusron Minta Maaf dan Klarifikasi Soal Isu Kepemilikan Tanah oleh Negara

CME menegaskan, pertumbuhan ekonomi yang sehat dan berkelanjutan adalah pertumbuhan yang manfaatnya terasa luas, bertahan lama, dan tidak memicu siklus “boom and bust” yang merugikan. Ukurannya bukan hanya PDB, tetapi juga:

Investasi swasta yang dominan dan menjawab kebutuhan pasar nyata

Sumber: