Larangan Puasa di Hari Tasyrik: Hikmah dan Penjelasan

Larangan Puasa di Hari Tasyrik: Hikmah dan Penjelasan

Radarseluma.disway.id - Larangan Puasa di Hari Tasyrik: Hikmah dan Penjelasan--

Reporter: Juli Irawan 

Radarseluma.disway.id - Hari Tasyrik merupakan bagian dari rangkaian hari-hari besar dalam Islam yang memiliki keutamaan tersendiri. Berlangsung selama tiga hari setelah Hari Raya Iduladha (tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah), hari-hari ini dipenuhi dengan ibadah, dzikir, dan syiar Islam, khususnya bagi para jamaah haji yang sedang melaksanakan nafar awal atau nafar tsani. Di luar itu, umat Islam secara umum juga dianjurkan memperbanyak takbir dan menikmati kenikmatan yang Allah limpahkan.

Namun, di tengah semangat beribadah dan berpuasa di bulan-bulan haram seperti Dzulhijjah, terdapat larangan tegas dalam syariat untuk tidak berpuasa pada Hari Tasyrik. Larangan ini bukan tanpa hikmah. Justru di balik larangan tersebut, terdapat pelajaran besar dan nilai-nilai yang menggambarkan keindahan dan keseimbangan ajaran Islam.

Definisi Hari Tasyrik

Hari Tasyrik adalah tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah, yaitu tiga hari setelah Hari Raya Iduladha (10 Dzulhijjah). Dalam bahasa Arab, "tasyrik" berasal dari kata شَرَّقَ yang berarti "mengeringkan daging dengan menjemurnya di bawah sinar matahari." Tradisi ini dilakukan oleh kaum Muslimin zaman dahulu untuk mengawetkan daging kurban yang melimpah.

Hari Tasyrik juga disebut oleh Rasulullah SAW sebagai “Ayyāmu Aklin wa Shurbin wa Dzikrillāh” (hari makan, minum, dan berdzikir kepada Allah), sebagaimana akan dijelaskan dalam hadits berikut.

BACA JUGA:Inilah Makna Filosofis di Balik Ibadah Kurban, Berikut Penjelasannya

Dalil-Dalil Larangan Puasa di Hari Tasyrik

1. Hadits Rasulullah SAW tentang larangan puasa

Dari Nubaisyah al-Hudzali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

نهى رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ عن صيامِ أيامِ التشريقِ، قال: "هي أيامُ أكلٍ وشربٍ وذكرٍ للهِ عزَّ وجلَّ"

Artinya: “Rasulullah SAW melarang berpuasa pada hari-hari Tasyrik. Beliau bersabda: ‘Hari-hari itu adalah hari makan, minum, dan berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla.’” (HR. Muslim no. 1141)

Larangan ini bersifat umum dan berlaku bagi semua umat Islam, baik yang sedang berhaji maupun yang tidak. Hikmahnya adalah agar umat Islam menikmati nikmat Allah dan memperbanyak dzikir, tidak disibukkan dengan menahan lapar dan dahaga.

2. Hadits Abdullah bin Umar dan Aisyah radhiyallahu ‘anhuma

لم يُرَخَّصْ في أيامِ التشريقِ أن يُصَمنَ، إلا لمن لم يجدِ الهديَ

Artinya:;“Tidak dibolehkan berpuasa pada hari-hari Tasyrik, kecuali bagi orang yang tidak mendapatkan hewan hadyu (untuk disembelih saat haji).” (HR. Bukhari no. 1998)

Hadits ini menunjukkan bahwa larangan puasa pada hari Tasyrik bersifat umum, tetapi ada pengecualian khusus bagi jamaah haji yang tidak mampu menyembelih hewan kurban (hadyu), mereka boleh mengganti dengan puasa.

Dalil dari Al-Qur’an

Meskipun larangan puasa di Hari Tasyrik tidak disebut secara eksplisit dalam Al-Qur’an, namun penegasan tentang pentingnya menikmati nikmat Allah di hari-hari besar dapat ditemukan dalam firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagimu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Ma’idah: 87)

Ayat ini menjadi dasar bahwa Allah tidak menghendaki umat-Nya menyulitkan diri dalam ibadah melebihi batas yang ditentukan. Islam mengatur keseimbangan antara ibadah dan kenikmatan duniawi yang halal.

Hikmah Larangan Puasa di Hari Tasyrik

1. Wujud Syukur atas Nikmat Kurban dan Rezeki

Hari Tasyrik datang setelah Hari Iduladha, di mana kaum Muslimin menyembelih hewan kurban. Daging kurban dibagikan, dimakan, dan dinikmati oleh masyarakat luas. Larangan puasa saat itu adalah wujud dari syukur terhadap nikmat Allah.

2. Waktu Berdzikir dan Menghidupkan Sunnah

Hari Tasyrik adalah waktu yang sangat dianjurkan untuk memperbanyak takbir, tahlil, tahmid, dan tasbih. Dalam hadits disebutkan bahwa hari-hari tersebut adalah waktu mengingat Allah secara lisan dan hati, bukan waktu untuk menyibukkan diri dengan puasa.

3. Menjaga Keseimbangan Ruhani dan Jasmani

Islam adalah agama yang menjaga keseimbangan. Setelah menunaikan ibadah berat seperti puasa dan kurban, datanglah hari untuk menikmati makan dan minum yang halal. Hal ini menunjukkan Islam tidak memerintahkan ibadah secara berlebihan yang bisa membahayakan tubuh.

4. Penguatan Ikatan Sosial

Dengan tidak berpuasa, kaum Muslimin bisa saling menikmati makanan bersama keluarga, tetangga, dan kerabat. Ini memperkuat silaturahmi, ukhuwah Islamiyah, dan mempererat hubungan sosial.

BACA JUGA:Menyambut Hari Arafah dengan Iman dan Taqwa

Dari penjelasan di atas maka dapatlah kita simpulkan bahwa larangan puasa di Hari Tasyrik bukan berarti meremehkan nilai ibadah puasa, namun menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang fleksibel dan penuh hikmah. Larangan ini datang untuk memberi ruang kepada umat Islam agar menikmati rezeki Allah, memperbanyak dzikir, dan mempererat hubungan sosial.

Hari Tasyrik adalah momen untuk bersyukur, berdzikir, dan berbagi kebahagiaan, bukan hari untuk menyiksa diri dengan menahan lapar dan haus. Bahkan Rasulullah SAW menegaskan bahwa hari-hari itu adalah hari makan dan minum yang diberkahi.

Sebagai Muslim, kita harus memahami bahwa tidak semua ibadah bisa dilakukan kapan saja. Ada waktu-waktu tertentu yang disyariatkan untuk berpuasa, dan ada waktu-waktu yang diharamkan, seperti hari Tasyrik. Justru dalam mentaati larangan tersebut terdapat pahala dan hikmah yang besar.

Mari kita jadikan hari-hari Tasyrik sebagai momentum untuk memperkuat rasa syukur, memperbanyak dzikir, dan menjalin silaturahmi dengan sesama. Semoga Allah menjadikan kita sebagai hamba-hamba-Nya yang taat dalam ibadah dan patuh terhadap batasan yang telah Dia tetapkan.

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا ۚ

Artinya: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr: 7)

Demikianlah penjelasan yang dapat kami sampaikan semoga bermanfaat buat kita semua. (djl)

Sumber:

Berita Terkait