Kisah Nyata: Saat Cinta Membawa Luka: Mencari Jalan Pulang Bagian Tiga Tamat

Kisah Nyata: Saat Cinta Membawa Luka: Mencari Jalan Pulang Bagian Tiga Tamat

Radarseluma.disway.id - Kisah Nyata: Saat Cinta Membawa Luka: Mencari Jalan Pulang Tamat--

Reporter: Juli Irawan 
 
Radarseluma.disway.id - Dalam hidup, setiap pilihan membawa konsekuensi. Ada yang membawa bahagia, ada pula yang justru menuntun ke jurang kelam. Kisah ini bukan semata fiksi, melainkan refleksi dari banyak realita yang terjadi di sekitar kita—tentang cinta yang salah arah, pengkhianatan, dan keberanian untuk kembali menata hidup. Melalui kisah Rania, mari kita menyelami luka seorang perempuan yang jatuh karena cinta, namun memilih bangkit karena kesadaran dan harapan. Bacalah dengan hati.

Pagi itu, sinar matahari menyusup malu-malu lewat celah tenda biru tempat para pedagang kaki lima biasa berjualan. Rania membuka matanya pelan. Ia tidur bersandar di bahu perempuan tua penjual bunga yang semalam memeluknya seperti anak sendiri. Tubuhnya masih terasa dingin, tapi ada sesuatu yang berbeda: jiwanya mulai hangat.

“Sudah pagi, Nak. Mau bantu Ibu jualan? Biar pikiranmu tenang dulu,” ujar si Ibu sambil tersenyum.

Rania mengangguk pelan. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir, ia merasa tidak sendirian.

Hari-hari berikutnya, Rania tinggal sementara di kios kecil milik si Ibu. Namanya Bu Mirah. Seorang janda tua yang kehilangan anak semata wayangnya dalam kecelakaan dua tahun lalu. “Mungkin Tuhan mengirim mu untuk gantikan sebentar rasa sepi ini,” katanya suatu hari. Rania hanya tersenyum, menahan air mata.

Setiap pagi ia membantu menata bunga, menata air dalam ember-ember kecil, dan melayani pembeli. Tangan yang dulunya gemetar saat membuka pintu hotel kini mulai terbiasa merangkai bunga mawar dan melati. Pikirannya masih sesekali dihantui bayangan masa lalu, tapi rasa hangat dari rutinitas sederhana mulai menyembuhkan luka-luka itu perlahan.

BACA JUGA:Kisah Nyata: Saat Cinta Membawa Luka, Langkah Pertama Jadi PSK.

Suatu malam, saat langit gerimis, Rania menatap pantulan wajahnya di kaca etalase toko kosong di seberang jalan. Wajah itu sudah berubah. Tidak lagi polos seperti gadis SMA, tapi juga bukan lagi perempuan hancur yang pasrah.

“Aku mau pulang, Bu...” gumamnya, lirih.

Bu Mirah menoleh. “Pulang ke mana?”

“Ke rumah... Kalau mereka masih mau terima aku.”

Bu Mirah menghela napas. “Orang tua, Nak... bisa marah, bisa kecewa, tapi hati mereka nggak pernah benar-benar bisa membuang anak. Kalau kamu datang dengan tulus, mereka pasti akan memelukmu lagi.”

Rania butuh dua hari untuk meyakinkan dirinya sendiri. Ia tak tahu bagaimana menjelaskan semua yang telah ia lewati. Tapi ia tahu, pulang bukan soal menjelaskan, tapi soal mengakui dan berani memulai lagi.

Ia naik bus antarkota pagi itu. Di tangannya hanya ada ransel kecil dan amplop berisi sedikit uang tabungan hasil bantu jualan bunga. Di hatinya, ada rasa takut, cemas, malu, tapi juga harapan.

Saat bus memasuki jalanan kampungnya, Rania hampir tak percaya. Warung di ujung gang masih ada. Lapangan tempat ia dulu bermain sepeda masih ramai oleh anak-anak. Dan rumahnya... masih berdiri, dengan pagar besi yang sudah mulai berkarat.

Sumber: