Kisah Nyata: Saat Cinta Membawa Luka, Langkah Pertama Jadi PSK. "Luka Bernama Cinta" Bagian Satu

Kisah Nyata: Saat Cinta Membawa Luka, Langkah Pertama Jadi PSK.

Radarseluma.disway.id - Kisah Nyata Saat Cinta Membawa Luka: Langkah Pertama Jadi PSK. "Luka Bernama Cinta" Bagian Satu--

Reporter: Juli Irawan 
 
Radarseluma.disway.id - Dalam hidup, setiap pilihan membawa konsekuensi. Ada yang membawa bahagia, ada pula yang justru menuntun ke jurang kelam. Kisah ini bukan semata fiksi, melainkan refleksi dari banyak realita yang terjadi di sekitar kita tentang cinta yang salah arah, pengkhianatan, dan keberanian untuk kembali menata hidup. Melalui kisah Rania, mari kita menyelami luka seorang perempuan yang jatuh karena cinta, namun memilih bangkit karena kesadaran dan harapan. Bacalah dengan hati.

Malam itu, hujan turun seperti biasa di sudut kota yang tak pernah benar-benar tidur. Di balik jendela kamar kos sempit berukuran tiga kali tiga, seorang gadis bernama Rania duduk terpaku memandang tetesan air yang membentur kaca. Hujan selalu membawa kenangan baginyankenangan tentang cinta pertama, dan juga tentang luka yang belum sembuh.

Rania bukan gadis sembarangan. Ia lahir dari keluarga sederhana di pinggiran kota. Ayahnya seorang sopir angkot yang tak pernah pulang tepat waktu, ibunya buruh cuci yang jarang sekali punya waktu untuk bercerita sebelum tidur. Tapi mereka keluarga yang utuh setidaknya dulu begitu, sebelum semuanya berubah karena cinta yang salah.

Saat Rania duduk di bangku kelas dua SMA, ia bertemu Arga. Lelaki yang datang dalam hidupnya seperti angin sejuk di tengah panas kehidupan. Arga berbeda dari kebanyakan laki-laki. Perhatian, lembut, dan selalu tahu kata-kata yang membuat Rania merasa istimewa. Ia seperti pelangi pertama yang muncul setelah badai panjang. Dan tanpa sadar, Rania menyerahkan hatinya. lalu perlahan-lahan, juga hidupnya.

BACA JUGA:Gadis Pinggiran Kota: Kisah Awal Terjerumus Dunia Malam Part Satu

Cinta pertama selalu terasa indah. Tapi tidak semua cinta berakhir dengan bahagia. Rania yang polos tidak tahu bahwa kata-kata manis Arga hanyalah jaring-jaring halus yang pada akhirnya menyeretnya ke dalam jurang kegelapan.

Satu malam di bulan November, Arga mengajaknya kabur dari rumah. “Aku nggak tahan lagi hidup kayak gini, Ran. Aku pengen kita bahagia, bebas dari aturan keluarga, dari tekanan sekolah. Kita bisa mulai hidup baru di kota,” katanya sambil menggenggam tangan Rania. Bodohnya, Rania percaya. Ia pikir, cinta yang besar layak diperjuangkan. Ia pikir, bersamanya akan membuat segalanya terasa lebih baik.

Mereka pergi tanpa pamit. Hanya membawa dua tas ransel, dan impian yang ternyata semu. Di kota besar, segalanya tak semudah yang dikira. Arga tak punya pekerjaan tetap. Hari-hari pertama terasa manis, seperti bulan madu, tapi kenyataan segera menggigit. Tabungan menipis, kosan harus dibayar, dan perut harus diisi. Dalam keterpurukan itu, sisi gelap Arga mulai muncul—pemarah, kasar, bahkan menampar Rania saat ia mempertanyakan masa depan mereka.

“Aku nggak mau hidup kayak gini, Ga. Kita harus cari jalan keluar,” ucap Rania suatu malam setelah mereka tak makan seharian.

“Kalau kamu memang cinta sama aku, kamu pasti mau bantu. Ada temanku, dia bilang... ada kerjaan yang bisa kasih kita uang cepat,” kata Arga sambil menatap kosong ke arah lantai.

Kerjaan itu... bukan pekerjaan biasa. Itu jalan gelap, dan Arga tahu itu. Tapi ia tetap mendorong Rania masuk ke sana. “Cuma satu malam, Ran. Kita butuh uang,” katanya lirih. Tapi dalam lirihnya, ada tekanan yang menusuk hati.

BACA JUGA:Kisah Nyata Gadis Pinggiran Kota: Bayang-Bayang Dosa dan Cahaya Penyesalan (Part Dua)

Rania terdiam lama malam itu. Ia berjalan sendirian di tengah hujan menuju jembatan penyebrangan yang menghadap lampu-lampu kota. Setiap langkah terasa berat. Di dadanya bergemuruh pertanyaan: apakah ini arti cinta? Apakah cinta pantas membuatnya kehilangan harga diri?

Namun... cinta yang telah menjadi luka membuat logikanya tumpul. Ia pulang malam itu dengan jawaban yang belum bulat, tapi nyaris pasti. Di dalam hatinya, ada suara yang terus berbisik: “Mungkin ini hanya sementara. Mungkin semua akan baik-baik saja.”

Malam berikutnya adalah malam yang mengubah segalanya. Rania melangkah ke kamar hotel kecil yang telah dibayar lunas oleh seorang pria asing. Ia berdiri di depan cermin, menatap wajahnya sendiri. Mata yang dulu berbinar kini meredup. Bibir yang dulu penuh senyum kini hanya diam.

Sumber: