Danantara dan Gejolak Pasar Modal Indonesia: Madu atau Racun?

Keberadaan Danantara sebagai Sovereign Wealth Fund (SWF) nasional --
Peran dewan pengawas dan manajerial yang jelas, audit independen secara rutin, serta budaya organisasi yang mendorong profesionalisme menjadi kunci agar Danantara dapat beroperasi secara efektif tanpa tercemar kepentingan politik.” Lalu apakah susunan kepengurusan Danantara baru yang memuaskan ekspektasi ini? Terlalu dini untuk menyimpulkan.
Yang jelas, kehadiran Danantara harus dilihat dalam konteks kondisi ekonomi saat ini. Betapa tidaknya, Danantara hadir di tengah gejolak pasar modal yang melanda Indonesia. Berita terbaru menunjukkan bahwa penurunan IHSG yang cukup signifikan pada pertengahan Maret 2025 telah mengakibatkan tekanan kuat terhadap rupiah, yang semakin ditekankan oleh dolar AS.
Kondisi ini memaksa Bank Indonesia (BI) mengambil langkah ekspansif, salah satunya dengan menargetkan pembelian Surat Berharga Nasional (SBN) di pasar sekunder hingga mencapai Rp150 triliun. Selain tekanan moneter yang melemahkan ruang gerak suku bunga, penurunan tingkat kepercayaan konsumen (consumer trust) menimbulkan kekhawatiran akan melemahnya konsumsi rumah tangga—yang menyumbangkan 54% terhadap PDB nasional. Padahal, kita semua tahu bahwa sebentar lagi Lebaran, momen tradisional yang biasanya meningkatkan daya beli dan konsumsi. Dalam situasi ini, wajar jika desakan muncul kepada pemerintah bersama Bank Indonesia (BI) agar mengambil langkah-langkah strategi untuk menyelaraskan kebijakan fiskal dan makroprudensial.
Sehubungan dengan hal ini, CME berharap pemerintah berhati-hati agar mekanisme pasar dapat berfungsi secara alami dalam menyeimbangkan penawaran dan permintaan modal, sekaligus mencegah distorsi alokasi sumber daya. BI sebaiknya membiarkan mekanisme pasar bekerja. Solusi jangka panjang mau tidak mau harus lebih mengutamakan pembenahan struktural dan kebijakan yang mendorong efisiensi pasar. Sebetulnya, disinilah peran Danantara krusial sebagai salah satu solusi struktural jangka panjang. “Dengan mengoptimalkan pengelolaan aset negara dan mengalihkan modal ke proyek-proyek produktif, Danantara berpotensi dapat mengurangi ketergantungan pada intervensi moneter yang bersifat reaktif dan mendukung stabilitas ekonomi secara fundamental,” pungkas Alvin yang juga merupakan pengajar Universitas Prasetiya Mulya.
Tentang CME : Center for Market Education (CME) adalah lembaga think-firm yang berkantor di Kuala Lumpur, Malaysia, dan Jakarta, Indonesia. Dengan memadukan antusiasme dan orientasi lembaga penelitian riset dengan profesionalisme perusahaan konsultan, CME memimpin diri dalam konsultasi bisnis, analisis ekonomi dan kebijakan, serta layanan pelatihan.
BACA JUGA:Sabar dan Syukur: Kunci Keberkahan Ibadah
CME membantu bisnis internasional yang ingin masuk ke Asia Tenggara dengan layanan intelijen pasar, konsultasi model bisnis, serta dukungan hukum dan kelembagaan.
CME juga menyediakan layanan analisis kebijakan dan advokasi kebijakan, yang bertujuan untuk mendukung terciptanya ekosistem kelembagaan yang lebih ramah bisnis dan berinovasi, yang didukung oleh peraturan perdagangan bebas.
Sumber: