LPSK Lindungi 9 Saksi dan Korban Kekerasan Seksual, dengan Terdakwa IWAS

Wakil Ketua LPSK--
JAKARTA, Radarseluma.Disway.id - LPSK memberikan perlindungan kepada Sembilan Saksi dan Korban dalam kasus Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang dilakukan terdakwa IWAS alias Agus sejak 20-23 Januari 2025. Perlindungan tersebut mencakup pemenuhan hak prosedural, seperti pendampingan dalam persidangan serta layanan medis dan psikologis.
BACA JUGA:Tahun 2025 ini, Bank Mandiri Perkuat Ekosistem Wholesale dan Ekspansi Kredit
BACA JUGA:Berikut Jadwal Pencairan Gaji 13 dan Gaji 14 Tahun 2025
Layanan Perlindungan dilakukan LPSK bekerja sama dengan Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Kejaksaan Negeri Mataram untuk menghadirkan saksi dan korban yang terlindung dalam persidangan. Beberapa saksi dan korban yang hadir dalam persidangan tersebut antara lain MA, AR, JB, dan YD.
Menghadapi persidangan kasus kekerasan seksual, korban rentan mengalami trauma psikologis. Untuk itu, LPSK menggandeng psikolog guna memberikan penguatan psikologis sebelum persidangan, memastikan para korban siap memberikan keterangan di hadapan majelis hakim.
Persidangan akan kembali digelar pada 3 Februari 2025 dengan menghadirkan saksi dan korban lainnya yang berada dalam perlindungan LPSK, yaitu LA, IK, dan AR. LPSK mengapresiasi langkah Pengadilan Negeri Mataram, khususnya majelis hakim dan jaksa penuntut umum, yang telah menggelar persidangan secara tertutup dan mengakomodasi permintaan korban agar mereka tidak berhadapan langsung dengan terdakwa, sesuai dengan ketentuan KUHPidana dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
BACA JUGA:Mobil SUV Listri Baru Chery Segera di Luncurkan di Pasar Otomotif Indonesia dan Populer Harga Murah
BACA JUGA:Bukan Hanya Fisik yang Dipangkas, Perjalanan Dinas dan Acara Seremonial Juga Dipangkas
Wakil Ketua LPSK, Sri Nurherwati, menekankan pentingnya perlindungan bagi korban kekerasan seksual untuk memastikan keadilan. Ia menegaskan bahwa tidak ada hak istimewa atau kekebalan hukum bagi pelaku kekerasan seksual, meskipun pelaku adalah penyandang disabilitas. Menurutnya, penanganan kasus kekerasan seksual harus berpusat pada pengalaman korban. Oleh karena itu, meskipun secara kasat mata pelaku dianggap tidak memungkinkan untuk melakukan tindak pidana, fakta yang disampaikan korban tetap harus didengar untuk memastikan kebenaran.
Sumber: