Varian Siluman

Varian Siluman

--

Itu beredar di WA Kamis kemarin. Tentu saya tidak percaya begitu saja. Juga tidak langsung terpengaruh. Saya forward info itu ke dua peneliti yang Anda sudah hafal namanya: drh Indro Cahyono dan Prof Dr Chairul Anwar Nidom.

Indro langsung merespons: "Varian baru dan lonjakan angka itu dua hal yang berbeda. Jangan panik," katanya.Untuk bisa tahu bahwa itu ''varian baru'' tidak mudah. Harus dilakukan sequence DNA. Tidak cukup dengan PCR, apalagi rapid test. "Jangan ada pikiran kalau di suatu tempat ditemukan varian baru, lalu di situ jumlah pasien naik berarti varian baru semua," ujar Indro.

Memang kini ditemukan varian baru lagi. Yakni varian Centaur. Yang juga mendapat gelar ''varian siluman'' –kesannya lebih menakutkan, seperti terbaca di WA itu.

Saya pun bertanya: dari mana datangnya gelar siluman itu.

Ternyata itu tidak ada hubungannya dengan kesaktian suatu varian. ''Gelar'' siluman itu berlatar belakang kisah di balik nama itu saja.

Nama Centaur diambil dari –lagi-lagi– Yunani. Di sana ada tokoh mitos bernama Centaur. Tokoh mitos. Bukan tokoh sejarah.

Centaur itu berwujud setengah kuda, setengah manusia. Bisa berderap, bisa terbang. Kalau lari kecepatannya melebihi kecepatan cahaya. Kalau terbang melebihi kecepatan Garuda ditambah Lion, ditambah Citilink, ditambah Batik ditambah Wing Air pun kalau masih harus ditambah Bouraq.

Dari situlah muncul gelar 'siluman'. Kata siluman itu memang mampu menggetarkan ketakutan --padahal uang siluman justru bisa menyilaukan.

Siapa yang menyebarkan istilah varian siluman itu? Mungkin Anda. Mungkin juga pabrik masker. Atau pengusaha PCR dan antigen. Bukan. Rasanya orang iseng saja.

Tes untuk mengetahui varian baru itu mahal. Sekitar Rp 8 juta per satu orang. Bayangkan kalau 5.000 orang itu dibilang varian siluman semua. Rp 40 miliar.

Apakah terhadap 5.000 orang itu dilakukan sequencing DNA semua?

Jelas tidak. Angka 5.000 sehari itu didapat dari PCR dan rapid test. Berarti belum jelas berapa yang siluman.

Menurut Indro pemeriksaan PCR dan rapid test itu sederhana. Yang diperiksa adalah bagian ''pentol'' di paku virus itu. Biayanya hanya Rp 35.000/orang. Sedang sequencing DNA memeriksa bagian ''batang pentol'' di virus Covid-19.

"Setiap kali varian baru muncul, yang berubah selalu di bagian pentol itu. Di ujung paku-paku itu," ujar Indro. Itulah sebabnya, rapid test selalu bisa mendeteksi virus Covid –tanpa tahu variannya apa.

Maka biar pun varian baru ini disebut siluman –-nama resminya BA2.75– masih juga tidak punya kesaktian silumannya. Tetap bisa dideteksi. Baik lewat PCR maupun rapid test. Itulah jenis siluman yang mudah ditangkap manusia. "Tidak usah takut berlebihan," ujar Indro. "Lha wong kode depannya tetap BA. Berarti siluman itu tetap kelompok omicron juga."

"Artinya, antibodi penyintas tetap bisa mengatasinya," tambah Indro. Antibodi penyintas adalah antibodi yang dimiliki orang yang pernah terkena Covid-19. "Antibodi dari vaksin Sinovac juga bisa mengatasi," katanya.

Prof Dr Chairul Anwar Nidom mulai mencurigai perkembangan anak-anak Omicron. "Ada temuan baru virus Covid-19 tidak mengikuti pola virus yang lain," ujar pemilik laboratorium dan lembaga penelitian Prof Nidom Foundation (PNF) itu.

Virus lain seperti flu, setelah masuk ke dalam sel memperbanyak diri. Lalu menerobos keluar sel sampai selnya pecah. Sel yang pecah itu yang bisa menimbulkan gejala seperti demam dan suhu tinggi.

"Virus Covid-19 ini belakangan merambat antar sel," ujar Prof Nidom.

Setelah virus itu memperbanyak diri di dalam satu sel ia tidak keluar dari sel. Maka itu tidak membuat sel rusak. Virus itu langsung masuk ke sel sebelahnya.

Demikian seterusnya.

Pola ini menyebabkan virus Covid-19 dapat menghindari antibodi. "Antibodi kan ada di luar sel," ujar Prof Nidom.

Itulah sebabnya orang yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala apapun. Tidak ada sel yang rusak.

Untuk itu harus hati-hati membaca hasil deteksi PCR. Kalau pasien Covid-19 baru terlihat negatif setelah 20 hari juga karena itu.

PNF kini lagi meneliti dampak pertemuan antar varian Wuhan-Delta dan Omicron. Juga dengan sub variannya.

PNF lagi menyiapkan diri untuk meneliti akibat kombinasi antar varian itu.

"Kami sudah siap meneliti. Tapi belum punya jenis sel dari pertemuan antar varian itu. Kami lagi minta ke Jepang," ujar Prof Nidom. "Kami masih menunggu jawaban dari Jepang," katanya.

Indonesia, ujar Nidom, harus meneliti sendiri pertemuan antar varian itu. Bisa jadi perkembangan varian di Indonesia berbeda dengan negara lain.

Tentu saya lebih tertarik ini daripada program merenovasi ruang kerja ketua BRIN dengan anggaran Rp 6 miliar itu –biar pun itu bukan anggaran siluman. (Dahlan Iskan)

Sumber: