Gadis Pinggiran Kota: Kisah Awal Terjerumus Dunia Malam Part Satu

Gadis Pinggiran Kota: Kisah Awal Terjerumus Dunia Malam Part Satu

Radarseluma.disway.id - Gadis Pinggiran Kota: Kisah Awal Terjerumus Dunia Malam Part Satu--

Reporter: Juli Irawan 

Radarseluma.disway.id - Namaku Rani. Aku lahir dan besar di sebuah sudut kota yang tak pernah benar-benar dicatat dalam peta. Lingkungan kami dikenal dengan jalanan sempit, rumah-rumah berdempetan, dan suara kendaraan tua yang meraung tiap pagi. Di sinilah aku menghabiskan masa kecilku bermain lompat tali di jalan berdebu, memetik bunga liar di kebun kosong, dan bermimpi besar di bawah langit yang tak pernah benar-benar cerah.

Ibuku seorang buruh cuci. Tangannya kasar, tapi hatinya lembut. Ayah? Aku tak pernah benar-benar mengenalnya. Ia pergi ketika aku baru menginjak usia lima tahun. Yang kutahu, ia lari bersama wanita lain, meninggalkan ibuku yang kala itu sedang hamil anak kedua. Sejak itu, hidup kami berubah. Kami bergantung pada penghasilan ibu yang tak pernah cukup untuk tiga mulut.

Aku tumbuh cepat. Terlalu cepat. Saat teman-temanku masih bermain boneka, aku sudah harus membantu ibu mencuci pakaian tetangga. Saat remaja lain sibuk belajar dan memikirkan cinta pertama, aku sibuk menghitung uang belanja dan berpikir bagaimana esok kami bisa makan.

BACA JUGA:Waw! Nikita Mirzani Ditahan Polda Metro, Kasusnya Pemerasan Bos Skincare 4 Miliar!

Namun, di tengah kerasnya hidup, aku punya mimpi. Aku ingin kuliah. Ingin keluar dari lingkaran kemiskinan yang membelit keluargaku seperti belenggu besi. Aku rajin belajar. Nilai-nilai ku bagus. Guru-guruku sering bilang aku pintar, punya masa depan. Tapi mimpi itu terlalu mahal untuk seorang gadis dari pinggiran kota.

Setelah lulus SMA, aku sempat bekerja sebagai penjaga toko. Gaji kecil, tapi cukup untuk beli beras dan membayar listrik. Suatu hari, seorang teman lama, Dita, datang dengan mobil kecilnya yang mengilap. Kami minum kopi di warung sederhana. Ia tampak cantik, wangi, dan penuh percaya diri. Aku heran—dulu kami sama-sama susah.

"Aku kerja di kafe, Ran. Jadi LC. Gajinya besar, tips-nya lebih besar lagi," katanya sambil tersenyum, menyulut rokok menthol.
"LC?" tanyaku polos.
"Lady Companion. Temanin tamu ngobrol, nyanyi, kadang minum. Gitu aja. Nggak harus ngelakuin apa-apa, asal pinter jaga diri."

Aku mengernyit, antara penasaran dan takut. Tapi kata-katanya menancap di pikiranku. Semalaman aku tak bisa tidur. Di kepalaku hanya terbayang wajah adikku yang ingin beli buku pelajaran dan ibuku yang semakin kurus karena kelelahan. Aku lelah hidup begini. Lelah melihat ibu menangis diam-diam tiap malam.

BACA JUGA: Reza Artamevia Lapor Balik, Usai Dituding Terkait Penipuan Bisnis Berlian

Beberapa minggu kemudian, aku ikut Dita ke sebuah kafe di pusat kota. Lampu remang-remang, musik lembut, parfum mahal, dan tawa para pria berdasi. Aku gugup saat pertama kali masuk, tapi Dita menenangkan ku.
"Tenang aja, kamu cantik, pintar ngomong, pasti laku," bisiknya.

Malam itu aku duduk menemani seorang pria paruh baya. Ia sopan, hanya mengajakku ngobrol tentang musik dan politik. Ia memberiku tip dua ratus ribu hanya karena menurutnya aku 'menyenangkan'. Uang itu jumlah yang lebih besar dari gajiku selama seminggu kubawa pulang dengan tangan gemetar.

Hari-hari berikutnya aku mulai terbiasa. Aku belajar berdandan, tersenyum, membaca situasi. Aku mulai menikmati hidup yang lebih “mudah” pakaian baru, ponsel canggih, uang belanja untuk ibu, bahkan bisa menyekolahkan adikku ke tempat yang lebih baik. Tapi setiap malam aku pulang dengan dada sesak. Seolah ada bagian dari diriku yang hilang sedikit demi sedikit.

Tak semua malam menyenangkan. Ada tamu yang kasar, ada yang memaksa lebih dari sekadar ditemani. Aku menolak, tentu saja. Tapi penolakan itu tak selalu mudah. Ada harga yang harus dibayar: pemotongan jatah, sindiran teman, atau bahkan ancaman halus dari manajer. Di titik ini, aku mulai mengerti bahwa dunia malam bukan sekadar kilau lampu dan tawa kosong.

Ada malam ketika aku menatap bayanganku di cermin kamar mandi kafe. Mata yang sembab, senyum palsu yang mulai lelah, dan hati yang bertanya: "Rani, apa ini jalanmu?"

Aku tak tahu. Yang kutahu, aku hanya ingin hidup lebih baik. Tapi semakin jauh melangkah, aku makin kehilangan arah.

Cerita ini baru permulaan. Di balik gemerlap dunia malam, Rani menyimpan luka, dilema, dan mimpi yang tak pernah padam. Kelanjutannya akan menggali lebih dalam konflik batin, pertentangan nilai, dan titik balik hidup yang mungkin datang saat ia dihadapkan pada pilihan terbesar dalam hidupnya..(djl)

Catatan Penulis: Kisah Rani ini adalah kisah banyak perempuan yang tersembunyi di balik bayang-bayang Kota. Cerita ini bukan untuk menghakimi, tapi untuk memahami bahwa setiap orang punya alasan, dan setiap jiwa pantas mendapat kesempatan kedua. Untuk itu jika ada nama dan tempat kejadian itu hanya kebetulan saja.

Bersambung ke part Dua

Sumber: