Kasus Pencurian Oleh Mantan Narapidana di Bengkulu Setelah Dua Hari Bebas Dalam Persepektif Sosiologi Hukum
--
BENGKULU - Kasus pencurian yang dilakukan oleh seorang pria mantan narapidana di Kota Bengkulu yaitu RD (26), hanya dua hari setelah ia bebas dari lembaga pemasyarakatan menjadi sorotan publik dan menggambarkan realitas sosial yang mengkhawatirkan. Berdasarkan laporan kepolisian, pelaku memasuki sebuah rumah kos dan mengambil barang berharga milik penghuni kos, seperti telepon genggam dan uang tunai. Di Jalan WR. Supratman dan melakukan penangkapan terhadap tersangka tanpa adanya perlawanan. Dalam pemeriksaan, pelaku mengaku melakukan pencurian karena kesulitan ekonomi dan tidak memiliki pekerjaan setelah keluar dari penjara. Ia juga mengeluhkan penolakan masyarakat sekitar terhadap dirinya karena statusnya sebagai mantan narapidana. Fenomena ini memperlihatkan bahwa kejahatan tidak berdiri sendiri, melainkan berkaitan erat dengan faktor sosial, ekonomi, dan kultural yang melingkupi kehidupan pelaku setelah menjalani hukuman.
Sosiologi hukum memandang kejahatan bukan semata-mata akibat lemahnya moral individu, melainkan juga hasil dari tidak berfungsi sosial yang ada di masyarakat. Dalam konteks kasus di Bengkulu, pelaku yang kembali mencuri tidak semata karena niat jahat, tetapi karena tekanan ekonomi, keterbatasan akses pekerjaan, serta pandangan sosial yang mengucilkan mantan narapidana. Proses reintegrasi sosial yang seharusnya menjadi bagian penting dari sistem hukum justru diabaikan. Padahal hukum seharusnya hadir sebagai instrumen yang tidak hanya menghukum, tetapi juga memperbaiki dan mengembalikan keseimbangan sosial. Ketika masyarakat gagal menerima kembali mantan pelaku kejahatan, maka hukum kehilangan salah satu fungsinya sebagai sarana perubahan sosial yang mampu membentuk perilaku taat hukum di masyarakat.
Kasus pencurian oleh mantan narapidana di Bengkulu menunjukkan bahwa ketertiban hukum belum sepenuhnya tercapai, karena masih terdapat kesenjangan antara aturan yang berlaku dengan realitas sosial masyarakat. Ketika mantan narapidana tidak memiliki ruang untuk hidup layak dan diterima dalam lingkungan sosial, mereka cenderung kembali melakukan pelanggaran hukum. Dengan demikian, ketertiban hukum bukan hanya tanggung jawab aparat penegak hukum, tetapi juga tanggung jawab kolektif seluruh masyarakat dalam menciptakan kondisi sosial yang kondusif bagi penegakan norma hukum.
Selain itu, aspek kesadaran hukum menjadi faktor penting dalam mencegah terulangnya tindak kejahatan. Dalam kasus mantan narapidana yang kembali melakukan kejahatan, dapat dikatakan bahwa kesadaran hukumnya belum terbentuk secara utuh. Ia mungkin mengetahui adanya larangan mencuri, tetapi pemahaman dan sikap terhadap hukum belum tertanam kuat, sehingga dalam situasi terdesak ia memilih melanggar hukum. Di sisi lain, masyarakat juga menunjukkan kesadaran hukum yang rendah ketika mereka menolak atau memandang buruk mantan narapidana. Hal tersebut menunjukkan bahwa kesadaran hukum tidak hanya perlu dimiliki individu, tetapi juga masyarakat luas agar tercipta keadilan sosial yang sejati.
Kegagalan dalam membangun kesadaran hukum dan ketertiban sosial ini mengindikasikan bahwa sistem hukum masih terlalu fokus pada aspek represif daripada preventif dan edukatif. Pendekatan sosiologis menekankan bahwa hukum akan efektif apabila diiringi dengan dukungan sosial berupa pembinaan moral, pemberdayaan ekonomi, dan penghapusan pandangan terhadap mantan narapidana. Pemerintah dan lembaga pemasyarakatan perlu memperkuat program reintegrasi sosial, pelatihan kerja, serta pendampingan psikologis bagi narapidana menjelang pembebasan agar mereka siap beradaptasi dengan masyarakat. Sementara itu, masyarakat perlu meningkatkan empati sosial dan kesadaran hukum untuk berperan aktif dalam menciptakan lingkungan yang tertib, aman, dan adil bagi semua lapisan warga, termasuk mereka yang pernah melakukan kesalahan hukum.
Dengan demikian, Kasus pencurian oleh mantan narapidana di Bengkulu mencerminkan kegagalan individu dan sistem hukum dalam menjalankan fungsi sosialnya. Menurut Soerjono Soekanto, efektivitas hukum tercapai bila sejalan dengan nilai sosial dan kesadaran hukum masyarakat. Karena itu, pembinaan, penerimaan sosial, dan pendidikan hukum penting untuk membangun masyarakat yang tertib dan yang tertib dan sadar hukum.
Sumber: