Ragam Rumah & Pakaian Adat Sumatera Selatan: Jejak Sungai Musi, Bukit Barisan, dan Anyaman Songket
Radarseluma.disway.id - Ragam Rumah & Pakaian Adat Sumatera Selatan: Jejak Sungai Musi, Bukit Barisan, dan Anyaman Songket--
Reporter: Juli Irawan Radarseluma.disway.id - Sumatera Selatan (Sumsel) dikenal sebagai “Bumi Sriwijaya”wilayah yang tumbuh dari denyut Sungai Musi hingga punggungan Bukit Barisan. Di hamparan geografis yang luas ini, identitas budaya terbentuk oleh dua lanskap: dataran rendah berpayau dan beraliran sungai (ilir), serta dataran tinggi berhawa sejuk (uluan). Dari pertemuan dua lanskap itu lahir ragam rumah adat dan busana adat yang khas dengan fungsi, simbol, dan estetika yang berbeda tetapi saling melengkapi.
Tulisan ini menguraikan secara global jenis-jenis rumah adat dan pakaian adat Sumsel, sekaligus menyebutkan daerah yang menjadi habitat budaya masing-masing. Harapannya, pembaca memperoleh peta kultural yang utuh siapa memakai apa, dan rumah tradisional berdiri di mana sehingga kekayaan warisan dapat dirawat, dikenalkan, dan dikembangkan.
Ragam Rumah Adat Sumatera Selatan dan Sebaran Wilayahnya
1) Rumah Limas (Palembang dan kawasan ilir)
Karakter: Berbentuk panggung bertingkat (kekijing), beratap limas, berpekarangan luas. Balok dan tiang kayu tua (ulin/tembesu) menjadi ciri, dengan ukiran dan ragam hias bernuansa flora-fauna. Interiornya terbuka, fleksibel untuk upacara keluarga, kenduri, atau penerimaan tamu.
Makna: Tingkatan lantai melambangkan hirarki adat sekaligus keluwesan sosial—ruang menerima tamu, ruang keluarga, hingga bilik-bilik privat.
Sebaran:
• Kota Palembang: ikon arsitektur kota, jejak keluarga bangsawan dan saudagar sungai.
• Banyuasin & Ogan Ilir/OKI (pesisir Musi dan rawa): hadir sebagai adaptasi budaya Palembang di wilayah ilir yang bertumpu pada jalur air.
• Musi Banyuasin (Muba): terutama kampung-kampung tua di bantaran sungai besar/cabang Musi.
2) Rumah Rakit (komunitas tepian Musi dan anak sungainya)
Karakter: Rumah mengapung/bertumpu pada rakit di sungai; mudah dipindah, responsif terhadap pasang-surut air. Dulu menjadi hunian saudagar dan nelayan.
Makna: Simbol mobilitas ekonomi air; menjadi “dermaga hidup” bagi aktivitas berdagang, menangkap ikan, dan berinteraksi antarkampung.
Sebaran:
• Palembang (Sungai Musi): bentuk paling dikenal; dulu berjajar sebagai kampung air.
• Banyuasin–Muba–OKI: desa-desa di alur sungai besar/kanal tua, tempat perairan menjadi nadi kehidupan.
3) Rumah Ulu (wilayah hulu: Besemah, Ogan, Komering, dan Semende)
Karakter: Rumah panggung berkaki tinggi agar aman dari lembab dan satwa, berdinding papan tebal, atap pelana/jurai. Struktur kokoh untuk tanah berbukit.
Makna: Manifestasi nilai gotong royong (mendirikan rumah bersama), kekerabatan, dan kesederhanaan yang fungsional.
Sebaran & Varian Lokal:
• Besemah (Pagar Alam, Lahat): detail kusen dan susunan papan rapat; pekarangan luas untuk tanaman pangan/kopi.
• Semende (Muara Enim, sebagian Lahat/OKU Selatan): menyesuaikan adat waris semende; ruang keluarga kuat, lumbung dekat rumah.
• Ogan (Ogan Ilir & OKI sisi hulu): pola kampung linear di tepi aliran air kecil; kolong rumah jadi ruang kerja.
• Komering (OKU, OKU Timur, OKI bagian timur): adaptasi terhadap dataran tinggi rendah; serambi luas sebagai ruang komunal.
Di mana rumah-rumah ini dapat dijumpai?
• Dataran tinggi/uluan: Pagar Alam, Lahat, Muara Enim, Empat Lawang, OKU Selatan dominan Rumah Ulu (varian Besemah/Semende).
• Transisi hulu ilir: OKU, OKU Timur, Ogan Ilir, OKI percampuran Rumah Ulu dengan pengaruh Limas.
• Dataran rendah/ilir: Palembang, Banyuasin, Muba kuat Rumah Limas dan jejak Rumah Rakit.
Pakaian Adat Sumatera Selatan dan Penggunaan Daerahnya
1) Aesan Gede (Palembang & kawasan Musi)
Karakter: Busana kebesaran berlapis kain songket Palembang sering motif pucuk rebung, bunga tanjung, atau naga besaung dengan perhiasan emas imitasi/sepuhan, pending, kalung bertingkat, dan mahkota (untuk perempuan). Pria mengenakan kain songket, baju kurung/teluk belanga, tanjak/lacak, dan keris. Perempuan berkebaya atau baju kurung songket dengan selendang.
Fungsi: Upacara pernikahan dan seremoni besar keluarga/komunitas.
Sebaran:
• Kota Palembang (pusat tradisi istana dan saudagar).
• Meluas ke Banyuasin, Ogan Ilir, OKI, Muba melalui jaringan kekerabatan dan budaya sungai.
BACA JUGA:Menelusuri Asal-Usul Kota Bengkulu: Dari Legenda, Kolonialisme, hingga Identitas Daerah
2) Aesan Paksangko (Palembang & ilir)
Karakter: Lebih ringan dibanding Aesan Gede, tetap megah dengan kain songket dan perhiasan, memberi keluwesan gerak untuk resepsi atau arak-arakan.
Fungsi: Variasi busana pengantin, penyambutan, atau hajatan keluarga.
Sebaran:
• Palembang dan kabupaten ilir (Banyuasin, OI, OKI, Muba) sebagai alternatif gaya kebesaran.
3) Busana Uluan (Besemah, Semende, Ogan, Komering)
Istilah “ulunan/ulu” merujuk dataran tinggi/hulu sungai. Busananya menonjolkan kain tenun/songket lokal (tak selalu seberkilau kota), aksesori lebih sederhana namun tetap anggun.
• Besemah (Pagar Alam, Lahat): laki-laki mengenakan baju kurung/teluk belanga, tanjak sederhana, kain songket/tenun; perempuan berkebaya dengan selendang dan tusuk konde.
• Semende (Muara Enim, OKU Selatan): ragam hias kalem; selendang dan pending tetap hadir, menekankan kesopanan dan kehangatan keluarga besar.
• Ogan (Ogan Ilir, OKI sisi hulu): nuansa warna tanah/hijau, aksesori tidak berlebihan; identik dengan upacara adat kampung.
• Komering (OKU, OKU Timur, OKI timur): warna cerah dan motif tegas; ikat kepala khas untuk pria, kebaya dan susunan perhiasan lebih ramping untuk perempuan.
Di mana busana-busana ini dipakai?
• Perkotaan ilir (Palembang, sebagian Banyuasin, OI, OKI, Muba): Aesan Gede dan Aesan Paksangko mendominasi pernikahan/seremoni.
• Uluan (Pagar Alam, Lahat, Muara Enim, Empat Lawang, OKU Selatan, OKU/OKU Timur bagian hulu): Busana Uluan (Besemah, Semende, Ogan, Komering) lebih sering dijadikan identitas pesta adat kampung.
4) Songket Palembang: Payung Bersama
Apapun gaya busananya, kain songket Palembang menjadi “roh” busana adat Sumsel. Motif-motif tua seperti pucuk rebung (harapan tumbuh ke atas), bunga tanjung (kesucian), naga besaung (kekuatan), menjadi kamus visual lintas kabupaten/kota. Tenun songket dipakai dari Palembang hingga ke uluan, menandai status, penghormatan, dan keindahan kerja tangan perajin.
BACA JUGA:Keberagaman Suku di Provinsi Bengkulu: Warisan Budaya yang Menyatu dengan Alam dan Sejarah
Sebaran Geografis Singkat per Kabupaten/Kota
Nilai Filosofis & Kontekstual
1. Adaptasi Lingkungan
•Limas dan Ulu sama-sama berpanggung: solusi atas banjir, lembab, dan ventilasi tropis.
•Rakit: jawaban paling ekstrem atas dinamika air rumah ikut “hidup” bersama sungai.
•Kekerabatan & Gotong Royong
2.Mendirikan Rumah Ulu lazimnya kerja komunal; ruang tengah jadi forum keluarga.
Di ilir, Limas menjadi panggung silaturahmi dari kenduri sampai musyawarah.
3. Status & Estetika
• Aesan Gede memperlihatkan marwah keluarga pada momen sakral.
• Busana Uluan menekankan keanggunan yang fungsional dan akrab dengan alam.
• Songket menyatukan semuanya: simbol ketekunan, ekonomi kreatif, dan kebanggaan daerah.
Tantangan Pelestarian dan Peluang
• Alih Fungsi & Material: Kayu tua kian langka; perlu inovasi material (kayu rekayasa) tanpa menghilangkan proporsi dan detail tradisional.
• Regenerasi Perajin: Tenun songket perlu dukungan pasar dan pendidikan keterampilan agar menarik generasi muda.
• Pariwisata Berbasis Komunitas: Paket “live in” kampung Ulu/Besemah/Semende, tur Rumah Limas, dan jelajah kampung air dapat menghidupkan ekonomi sekaligus menjaga autentisitas.
• Standarisasi Busana Adat: Panduan etika pemakaian Aesan dan busana uluan (acara, aksesori, warna) membantu generasi kini tampil benar sekaligus bangga.
Dari penjelasan diatas maka dapatlah kita simpulkan bahwa Ragam rumah dan pakaian adat Sumatera Selatan lahir dari dialog panjang antara manusia dan geografi. Rumah Limas dan Rumah Rakit mewakili kebudayaan ilir yang bertumpu pada air dan jaringan niaga, sementara Rumah Ulu mencerminkan kearifan pegunungan yang menekankan kekerabatan dan fungsi. Dalam ranah busana, Aesan Gede/Paksangko menampilkan kemegahan kota sungai, sedangkan busana Besemah Semende Ogan Komering menonjolkan keanggunan yang bersahaja. Songket Palembang menjadi benang merah yang mempersatukan seluruh spektrum itu—dikenakan di kota maupun kampung, pada pesta besar maupun upacara keluarga.
Menjaga rumah dan busana adat bukan sekadar romantisme masa lalu, melainkan investasi identitas. Pemerintah daerah, komunitas adat, perajin, desainer muda, dan pelaku pariwisata perlu duduk satu meja: mendokumentasikan ragam, memperkuat edukasi, menghadirkan produk turunan (souvenir, fesyen harian), hingga merancang destinasi budaya yang memberi manfaat nyata bagi warga lokal. Dengan demikian, dari panggung Limas di tepian Musi hingga Rumah Ulu di kaki Bukit Barisan, dari kilau Aesan Gede sampai kelembutan busana ulunan, Sumatera Selatan akan terus bersuara lantang, indah, dan berharga di mata Indonesia dan dunia. (djl)
Sumber: