Kisah Nyata: Aku Bukan Murahan, Hanya Terpaksa: Bagian 1 Luka di Balik Senyum

Radarseluma.disway.id - Kisah Nyata: Aku Bukan Murahan, Hanya Terpaksa: Bagian 1 Luka di Balik Senyum--
Reporter: Juli Irawan
Radarseluma.disway.id - Namaku Sonya, usiaku 25 tahun. Di balik riasan tebal, gaun mini berkilau, dan parfum mahal yang membalut tubuhku setiap malam, tersembunyi luka yang tak pernah benar-benar sembuh. Aku bukan perempuan murahan. Aku hanya perempuan biasa yang sedang bertahan—di tengah kerasnya hidup yang tak pernah menawarkan pilihan yang benar-benar adil.
Dulu, hidupku sederhana. Aku tumbuh di sebuah desa kecil di pinggiran Blitar. Ayahku seorang petani penggarap, ibuku buruh cuci keliling. Kami hidup pas-pasan, tapi bahagia. Aku adalah anak sulung dari tiga bersaudara. Dari kecil, aku sudah terbiasa bangun pagi membantu ibu mencuci, sebelum berangkat sekolah. Aku suka belajar. Guru-guruku bilang aku cerdas dan tekun. Cita-citaku sederhana: menjadi guru TK agar bisa mengajar anak-anak kampungku sendiri.
BACA JUGA:Kisah Nyata: Saat Cinta Membawa Luka, Langkah Pertama Jadi PSK.
Namun hidup, seperti biasa, tidak selalu sejalan dengan mimpi.
Ayah meninggal dalam kecelakaan motor saat aku duduk di bangku kelas dua SMA. Ia ditabrak truk saat pulang dari sawah. Dunia kami runtuh seketika. Ibu jatuh sakit. Tubuhnya lemah, pikirannya kacau. Aku terpaksa berhenti sekolah untuk bekerja demi menyambung hidup adik-adikku. Aku mencoba segalanya—menjadi pelayan warung, mengupas bawang di pasar, hingga menawarkan keripik singkong buatan ibu ke kota.
Tapi hasilnya tak pernah cukup. Hutang menumpuk. Obat ibu mahal. Adik-adikku butuh uang sekolah. Aku mulai tercekik oleh beban yang tak pernah berkurang.
Saat itulah, seorang teman lama, Wulan, menghubungiku. Ia kini tinggal di Jakarta dan katanya bekerja di sebuah kafe malam. “Kerjanya gampang, jadi pramusaji aja. Gajinya lumayan,” katanya. Awalnya aku ragu, tapi kebutuhan mendesak memaksa nuraniku bungkam.
Aku meninggalkan desa dengan satu koper lusuh dan segenggam harapan. Jakarta, dengan semua hiruk-pikuk dan lampu-lampu neon yang menyilaukan, menyambut ku dengan dingin.
BACA JUGA:Kisah Nyata: Saat Cinta Membawa Luka, Langkah Pertama Jadi PSK:
Di malam pertamaku di tempat kerja, aku sudah merasa ada yang tak beres. “Kafe” itu lebih mirip lounge dewasa. Musik keras, tamu-tamu pria hidung belang, dan pelayan perempuan berdandan menor. Aku bertanya ke Wulan, tapi dia hanya tertawa. “Santai aja, Son. Kalau kamu rajin senyum, bisa cepat dapat bonus.”
Tak lama kemudian, manajer menghampiriku. “Kalau kamu mau uang lebih, kamu bisa temani tamu keluar. Ada yang minat sama kamu malam ini.”
Aku langsung menggeleng. “Saya cuma mau kerja biasa.”
Tapi dunia malam tak pernah mengenal kata biasa.
Hari-hari berikutnya aku bertahan, tetap hanya sebagai pramusaji. Tapi tekanan makin kuat. Biaya hidup di Jakarta mahal. Ibu butuh obat. Adik-adikku menelepon, menagih janji kiriman uang. Aku menangis di pojok kamar sempit kontrakan, merasa gagal sebagai anak dan kakak.
Lalu malam itu datang. Seorang pria paruh baya, berdasi, duduk di pojok ruangan. Ia menunjuk ke arahku. “Yang itu,” katanya pada manajer. “Saya mau yang itu malam ini.”
Aku menolak. Tapi Wulan membujuk. “Satu malam aja, Son. Lima juta. Kamu bisa kirim uang buat Ibu, bayar kontrakan, dan sisanya kamu tabung. Aku janji, kamu nggak harus terus kayak gini.”
Aku bimbang. Tapi pada akhirnya, aku mengalah. Bukan karena aku tak punya harga diri, tapi karena aku sudah terlalu lelah melawan dunia sendirian.
Malam itu, aku masuk ke kamar hotel dengan langkah gemetar. Air mataku jatuh diam-diam. Bukan karena kehilangan sesuatu yang selama ini ku jaga, tapi karena rasa bersalah yang menusuk-nusuk batin.
Keesokan harinya, uang itu ada di tanganku. Lima juta. Aku kirim dua juta ke rumah, bayar utang kontrakan, sisanya aku simpan. Tapi aku sadar, garis yang telah ku lewati malam itu tak bisa dihapus begitu saja.
Aku pikir bisa berhenti. Tapi kenyataan tak semudah itu. Setelah malam pertama, tawaran datang lebih sering. Aku mulai jadi ‘pilihan’. Katanya, karena aku masih tampak polos. Pelanggan menyukai yang masih bisa menangis.
BACA JUGA:Kisah Nyata: Saat Cinta Membawa Luka: Mencari Jalan Pulang Bagian Tiga Tamat
Aku belajar menahan tangis, menyembunyikan luka di balik senyum. Belajar bicara manis walau hatiku penuh luka. Belajar berpura-pura nyaman saat jiwaku retak.
Aku bukan murahan. Aku hanya perempuan yang sedang berjuang di kota besar, ketika semua pintu tertutup dan yang tersisa hanya jalan sempit penuh bayangan gelap.
Sampai malam itu aku bertemu Arga. Pria muda, wajah bersih, mata jujur. Ia tak seperti yang lain. Ia tak menyentuhku, tak menawarkan uang. Ia hanya duduk dan berbicara.
“Kamu nggak cocok di tempat kayak gini,” katanya.
Aku tertawa kecil. “Kata semua orang juga begitu. Tapi kenyataannya, aku di sini.”
Malam itu kami hanya mengobrol. Tentang hidup, mimpi yang hancur, dan dunia yang tak ramah. Tak ada kamar hotel, tak ada sentuhan. Hanya kopi dingin dan dua jiwa yang saling berbagi luka.
Sejak malam itu, Arga sering datang. Membawakan buku, membelikan makanan kecil, dan yang paling berharga—mendengarkanku. Aku mulai menantikan malam, bukan karena pelanggan, tapi karena ia.
Namun dunia malam tak pernah membiarkan siapa pun keluar dengan mudah. Aku tahu, aku sedang berada di ambang pilihan besar: bertahan dalam gelap atau mencoba mencari cahaya dengan segala risiko.
Karena tidak semua perempuan yang menjual diri itu murahan. Kadang, mereka hanya manusia biasa yang terpaksa. (djl)
Bersambung ke Bagian 2…
Sumber: