Ayoo Simak Tafsir Ayat 3 & 4 Surat Ad-Dhuha Berikut Penjelasannya

Ayoo Simak Tafsir Ayat 3 & 4 Surat Ad-Dhuha Berikut Penjelasannya

Radarseluma.disway.id - Tafsir ayat 3 & 4 Surat Ad-Dhuha --

Radarseluma.disway.id - Para ulama sepakat bahwasanya Surat Adh-Dhuha adalah Surat Makiyyah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Rasulullah SAW  sebelum berhijrah ke Kota Madinah, dan pokok pembicaraan Surat ini berkaitan dengan nikmat-nikmat Allah yang zhahir yang Allah anugerah kan kepada Nabi. Adapun pokok pembicaraan terkait nikmat-nikmat yang maknawi akan datang pada tafsir Surat Al-Insyirah. Sehingga kedua surat ini berkaitan erat. Bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa kedua surat ini adalah satu surat karena masing-masing berbicara mengenai nikmat yang diberikan kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam.
 
Para ahli tafsir menyebutkan tentang asbabun nuzul (sebab turunnya) surat ini. Sebagaimana yang dimaklumi bahwa surat-surat atau ayat-ayat dalam Al-Quran terkadang diturunkan karena suatu sebab, namun terkadang pula tidak ada sebabnya. Berkaitan dengan sebab turunnya surat ini, ada beberapa riwayat atau hadits yang shahih, di antaranya hadits Jundub bin Abdillah bin Sufyan al Bajali Radhiyallahu anhu, ia berkata :
 
اِحْتَبَسَ جِبْرِيْلُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ، فَقَالَتْ اِمْرَأَةٌ مِنْ قُرَيْشٍ: أَبْطَأَ عَلَيْهِ شَيْطَانُهُ. فَنَـزَلَتْ: وَالضُّحَى. وَاللَّـيْلِ إِذاَ سَجَى. مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَى
 
Artinya: 
"Jibril tertahan (tidak kunjung datang) kepada Nabi SAW , lalu berkata seorang wanita dari Quraisy : “Syetannya terlambat datang kepadanya,” maka turunlah 
 
وَالضُّحَىٰ﴿١﴾وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَىٰ﴿٢﴾مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَى
Artinya: 
"(Demi waktu matahari sepenggalahan naik. Dan demi malam apabila telah sunyi. Rabb-mu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu)" (HR Bukhari no. 1073, no. 4667, no. 4698).
 
 
 
Tafsir Ayat 3 Surat Ad-Dhuha Allah SWT berfirman yang berbunyi:
مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَىٰ
Artinya: 
“Tuhanmu tidak meninggalkan engkau (Muhammad) dan tidak (pula) membencimu”(QS Ad-Dhuha 3)
 
Setelah Allah bersumpah dengan Dhuha dan malam, Allah menyatakan dua pernyataan. Pernyataan pertama yaitu bahwa Allah tidak akan meninggalkan Nabi. Pernyataan kedua yaitu Allah juga tidak akan membenci beliau.
 
Pada bagian pertama, Allah menggunakan kalimatرَبُّكَ  (Rabb-mu). Dan nama Allah Ar-Rabb mengandung sifat rububiyah dan tarbiyah. Seakan-akan Allah ingin menenangkan bahwa, “Wahai Muhammad, Rabb-mu lah yang telah mentarbiyah dan mendidik engkau dengan tarbiyah khusus, perhatian kepada engkau, maka Rabb-mu tidak mungkin meninggalkan engkau”. Tidak sebagaimana persangkaan Ummu Jamil (istri Abu Lahab).
 
As-Sa’di berkata :
 
مَا تَرَكَكَ مُنْذُ اعْتَنَى بِكَ، وَلاَ أَهْمَلَكَ مُنْذُ رَبَّاكَ وَرَعَاكَ، بَلْ لَمْ يَزَلْ يُرَبِّيْكَ أَحْسَنَ تَرْبِيَةٍ، وَيُعْلِيْكَ دَرَجَةً بَعْدَ دَرَجَةٍ
Artinya: 
“Allah tidak pernah meninggalkanmu sejak Allah perhatian terhadapmu, Allah tidak pernah melupakanmu sejak mentarbiahmu dan memperhatikanmu, bahkan senantiasa Allah mentarbiahmu dengan tarbiah yang terbaik, dan Allah meninggikan derajatmu setahap demi tahap” (Tafsir As-Sa’di hal 928)
 
 
Kemudian pada bagian kedua Allah menggunakan وَمَا قَلَىٰ yang maknanya وَمَا أَبْغَضَ. Pada bagian ini, Allah tidak menggunakan kata ganti untuk Nabi Muhammad sehingga menjadi وَمَا قَلَىٰكَ (“Dan Allah tidak membencimu”) tetapi Allah mengatakan وَمَا قَلَىٰ (“Dan Allah tidak membenci”). Hal ini karena kalimat ‘Allah membencimu’ itu berat didengar oleh Nabi. Meskipun yang dimaksudkan adalah tetap untuk Nabi.
 
Dan tatkala dikatakan bahwasanya Rabb itu tidak membenci Nabi -yaitu Allah menafikan kebencianNya terhadap Nabi-. Dan sebagaimana diketahui dalam kaidah bahwasanya penafian semata tidaklah menunjukan pujian. Padahal maksud ayat ini adalah dalam rangka membela dan memuji Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
 
Diantara kaedah dalam memahami sifat-sifat Allah yaitu tidak ada satu sifat yang dinafikan dari Allah kecuali melazimkan penetapan kesempurnaan sifat dari lawannya. Sebagaimana yang ada pada surat Al-Baqarah ketika Allah menafikan sifat kantuk pada diri-Nya. Allah berfirman yang berbunyi:
لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ ۚ
Artinya: 
“Tidak mengantuk dan tidak tidur.” (QS Al-Baqarah : 255)
 
Sehingga kita menetapkan kebalikannya. Jika Allah tidak ditimpa rasa kantuk, hal itu melazimkan Allah bersifat senantiasa terjaga dengan keterjagaan yang sempurna. Jadi, penafian saja tidak serta merta berkonsekuensi pujian kepada Allah, namun pujian kepada Allah adalah dengan menetapkan lawan dari yang dinafikan tersebut. Begitu pula pada ayat ini, Allah menafikan sifat benci kepada Nabi Muhammad dalam rangka memuji Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sehingga hal tersebut berkonsekuensi bahwa Allah mencintai Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan beliau dijuluki dengan Khalilur Rahman yaitu kekasih Allah subhanahu wata’ala. Dan tidak ada manusia yang lebih mulia di atas muka bumi ini dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
 
 
Tafsir Ayat 3 Surat Ad-Dhuha Allah SWT berfirman yang berbunyi:
مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَىٰ
Artinya:
“Dan sungguh yang kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang permulaan”(QS Ad-Dhuha 4)
 
Yaitu bahwa sesungguhnya yang terakhir itu bagi Nabi lebih baik daripada yang awal. Kata Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, ini adalah dalil bahwasanya Rasulullah setiap saat tingkatannya naik, apa yang telah berlalu tingkatannya lebih rendah dari apa yang akan datang. Semakin berjalannya waktu, maka semakin tinggi kedudukan Nabi di sisi Allah dan semakin dekat dengan Allah. Sehingga kedudukan Nabi di sisi Allah menjadi sempurna tatkala meninggal dunia. Oleh karena itu, kedudukan Nabi setelah meninggal dunia lebih afdhal daripada sebelum meninggal dunia. (lihat Tafsir As-Sa’di hal 928)
 
Namun hal ini tidak melazimkan bahwa keadaan Nabi yang telah meninggal dunia menjadikan doa itu lebih mustajab jika meminta kepada beliau agar berdoa kepada Allah. Bahkan bukan saja anggapan itu yang ditutup oleh para sahabat, tetapi lebih dari itu untuk meminta berdoa tanpa ada anggapan seperti itu pun tidak pernah dilakukan oleh para sahabat, karena mereka menganggap itu tidak berguna. Sebagaimana yang dilakukan oleh Umar bin Khatthab, ketika di zaman kekhalifahannya terjadi musim paceklik. Beliau tidak mendatangi kuburan Rasulullah, akan tetapi beliau mendatangi Al-Abbas yaitu paman dari Nabi. Umar meminta kepada pamannya Nabi agar berdoa. Umar berkata, “Kami dahulu ketika Nabi masih hidup maka kami bertawassul dengan Nabi, akan tetapi sekarang kami bertawassul dengan doanya paman Nabi”. Mengapa Umar bin Khatthab meninggalkan Nabi kemudian menuju kepada pamannya Nabi padahal kedudukan Nabi setelah meninggal lebih baik dibanding sebelum meninggal? Tidak lain karena Nabi setelah meninggal dunia tidak bisa dimintai untuk berdoa kepada Allah. Sehingga Umar pergi ke pamannya Nabi yang masih hidup, yang mana beliau juga merupakan orang shaleh agar mendoakan kaum muslimin yang tertimpa musim paceklik kala itu.
 
Inilah syubhat yang sering dilontarkan oleh banyak orang, mereka pergi ke orang mati yang semasa hidupnya shaleh atau kepada para syuhada lalu minta kepada mereka. Padahal sebaliknya, justru merekalah yang butuh terhadap doa orang yang masih hidup. Ketika terjadi perang Mu’tah, Rasulullah tidak ikut dalam peperangan tersebut dan mengirimkan Zaid Bin Haritsah sebagai panglima perang. Abu Qatadah menceritakan bahwa ketika Rasulullah naik ke mimbar, beliau bersabda:
 
إِنَّهُمُ انْطَلَقُوا فَلَقَوا الْعَدُوَّ فَأُصِيبَ زَيْدٌ شَهِيدًا، فَاسْتَغْفِرُوا لَهُ فَاسْتَغْفَرَ لَهُ النَّاسُ
 
Artinya: 
“Mereka berangkat sampai bertemu musuh. Kemudian Zaid gugur sebagai syahid, maka mintakanlah ampunan untuknya,” lalu kaum musliminpun memintakan ampunan untuknya. (HR 22551)
 
Beliau mati dalam keadaan syahid akan tetapi Nabi tetap memerintahkan agar para sahabat mendoakannya, karena dia butuh terhadap doa orang yang masih hidup, bukan malah sebaliknya. Itulah tujuan sebenarnya dari ziarah kubur, salah satunya untuk mendoakan orang yang dikubur tersebut. Selain tujuan lain yaitu mengingat mati dan kehidupan akhirat. Barang siapa yang berziarah ke kuburan bukan dengan tujuan ini berarti tujuannya keliru.
 
Itulah penjelasan tafsir Surat Ad-Dhuha ayat 3 dan 4 yang dapat kami sampaikan semoga bermanfaat. (djl) 

Sumber: