Kisah Nyata: Dari Pelayan Warung ke Perempuan Bayaran "Di Ambang Kehilangan" Tamat
Radarseluma.disway.id - Kisah Nyata: Dari Pelayan Warung ke Perempuan Bayaran "Di Ambang Kehilangan" Tamat--
Reporter: Juli Irawan
Radarseluma.disway.id - Hari-hari setelah malam pertama itu berjalan begitu cepat, namun terasa sangat berat. Aku merasa seperti berada di persimpangan jalan, satu langkah menuju kehidupan yang tak pernah kubayangkan, dan satu langkah menuju kehancuran yang belum sepenuhnya ku pahami. Dalam setiap langkahku, ada suara-suara yang mengingatkan akan keputusan yang ku tempuh adik-adikku, ibuku yang semakin lemah, dan rumah yang semakin rapuh.
Setiap malam, aku semakin merasa terjebak. Tugas-tugas itu mulai berubah menjadi rutinitas yang tak bisa ku hindari, dan aku merasa seperti robot yang hanya mengikuti perintah. Aku tidak pernah benar-benar menikmati uang yang kudapat, meskipun itu jauh lebih banyak dari gajiku di warung. Aku merasa sepi, kosong, dan terasing, meskipun aku berada di tengah-tengah keramaian dunia malam yang gemerlap.
Mira, yang awalnya begitu ramah dan penuh perhatian, mulai menunjukkan sisi yang berbeda. Ia mulai menuntut lebih banyak dariku, menyarankan untuk melanjutkan "karir" ini dengan lebih serius. "Kamu sudah terlalu jauh, Rina. Kenapa tidak melangkah lebih jauh saja? Ini bisa jadi kehidupan yang nyaman," katanya suatu malam, saat aku mengeluh tentang betapa cepatnya waktu berlalu dan betapa lelahnya aku.
BACA JUGA:Kisah Nyata: Dari Pelayan Warung ke Perempuan Bayaran (Bagian 1)
Namun, ada sesuatu dalam diriku yang mulai memberontak. Aku tak ingin menjadi seperti perempuan-perempuan lain yang terjebak dalam rutinitas ini mereka yang tampaknya tak memiliki pilihan lain. Aku ingin keluar, tapi aku merasa terikat. Uang yang kumiliki telah membantu keluargaku, memberi ibuku obat-obatan yang dibutuhkannya, dan membayar SPP adik-adikku. Tapi apakah semua itu sebanding dengan harga diriku?
Suatu malam, saat aku sedang berjalan keluar dari sebuah hotel mewah setelah menjalankan "tugas", aku merasa sangat tertekan. Langkahku terasa berat, dan untuk pertama kalinya, aku melihat ke sekelilingku dengan mata yang berbeda. Dunia ini tidak memberikan kebahagiaan. Ia hanya memberi kepuasan sementara, yang cepat hilang begitu saja.
Aku berjalan pulang, dan sepanjang jalan, aku berpikir tentang semua yang telah ku lalui. Aku menyadari bahwa aku tidak bisa terus hidup dalam kebohongan ini. Keluargaku mungkin membutuhkan uang, tetapi aku juga membutuhkan kebahagiaan dan martabat. Aku tak bisa terus mengorbankan diriku hanya untuk memenuhi harapan orang lain.
Setiba di kos, aku duduk di pinggir tempat tidur. Pikiranku kacau. Aku merasa terperangkap dalam labirin yang tak bisa kutemukan keluarnya. Namun, ada satu hal yang jelas aku harus memilih. Aku harus memilih untuk menghentikan semuanya dan kembali ke jalan yang benar.
Keesokan harinya, aku memutuskan untuk bertemu dengan Mira. Di kafe yang biasa kami kunjungi, aku duduk di hadapannya, dan kali ini, aku merasa tidak takut. "Mira, aku berhenti. Aku tidak mau lagi terus seperti ini," kataku dengan suara yang mantap. Mira terdiam, sejenak, kemudian tersenyum miring. "Kamu bisa berhenti, Rina. Tapi dunia ini keras. Jangan menyesal," katanya.
Aku mengangguk. Meskipun aku tahu bahwa hidupku tidak akan pernah sama lagi setelah keputusan ini, aku merasa lebih bebas. Bebas dari beban yang selama ini mengurungku. Aku tahu, perjalanan ini belum berakhir. Tapi setidaknya, aku bisa mulai menemukan jalan yang benar jalan yang tak perlu mengorbankan diriku.
BACA JUGA:Kisah Nyata: Dari Pelayan Warung ke Perempuan Bayaran (Bagian 2)
Aku kembali ke rumah, membawa harapan baru. Meski tak ada lagi jalan mulus yang menanti ku, setidaknya aku punya keputusan yang membuatku bisa hidup dengan kepala tegak. Aku mungkin bukan seorang perempuan yang sempurna, tetapi aku belajar bahwa kebahagiaan sejati tidak bisa dibeli dengan uang atau status. Kebahagiaan sejati datang dari keberanian untuk memilih jalan yang benar, meski itu penuh dengan tantangan. Tamat. (djl)
Sumber: