Kisah Nyata: Aku Bukan Murahan, Hanya Terpaksa

Kisah Nyata: Aku Bukan Murahan, Hanya Terpaksa

Radarseluma.disway.id - Aku Bukan Murahan, Hanya Terpaksa "Saat Luka Menemukan Harapan" Bagian 3 Tamat--

Reporter: Juli Irawan 

Radarseluma.disway.id - Hari itu matahari seperti enggan bersinar. Langit mendung menggantung rendah, seperti hatiku yang penuh kecemasan. Aku berdiri di depan gedung pelatihan, memandang ke arah sekeliling dengan waspada. Beberapa pria dari tempat kerjaku sempat mencari ku. Mereka bilang aku berutang—bukan uang, tapi loyalitas.

Tapi aku sudah tak mau kembali. Tidak peduli berapa harganya.

“Ayo, kita jalan,” suara Arga menyadarkanku dari lamunan. Ia datang tepat waktu seperti janjinya. Senyumnya tetap tenang, meski aku tahu ia menahan kekhawatiran.

Kami naik mobil menuju rumah aman, tempat perempuan seperti aku bisa memulai lagi. Arga tak banyak bicara sepanjang perjalanan. Tapi diamnya tak pernah sunyi. Ia membuatku merasa aman.

Malam pertama di rumah perlindungan itu terasa asing. Tidak ada denting gelas, tidak ada musik keras, tidak ada laki-laki bermata lapar. Hanya suara kipas angin, suara napas perempuan-perempuan lain yang juga datang membawa luka. Kami semua sama—terluka tapi tidak menyerah.

Di ruang makan kecil, aku bertemu Mbak Rika. Usianya mungkin sepuluh tahun di atasku. Tatapannya lembut, tapi penuh kisah.

“Kamu baru, ya?” katanya sambil menyodorkan segelas teh hangat.

Aku mengangguk. “Iya. Nama aku Sonya.”

Ia tersenyum, lalu berkata pelan, “Kamu selamat, Sonya. Itu yang penting.”

Dan untuk pertama kalinya, aku percaya bahwa aku memang bisa selamat.

BACA JUGA:Kisah Nyata: Aku Bukan Murahan, Hanya Terpaksa: Bagian 1 Luka di Balik Senyum

Dua bulan berlalu. Hari-hariku diisi pelatihan keterampilan, konseling, dan kadang percakapan panjang dengan Arga yang sesekali datang menjenguk. Ia tidak pernah memaksaku untuk mencintainya, tapi kehadirannya selalu menjadi pelipur.

Suatu hari ia berkata, “Kalau kamu sudah benar-benar siap, aku mau bantu kamu buka usaha kecil. Apa pun yang kamu suka.”

Aku tertawa kecil, “Jangan buru-buru, Ga. Aku belum selesai berdamai dengan diriku sendiri.”

Ia hanya tersenyum. “Aku tunggu. Selama apa pun.”

Satu sore, aku berdiri di depan cermin. Wajahku masih sama, tapi tatapan itu berbeda. Kini ada harapan di sana. Ada kepercayaan diri yang dulu hilang. Aku menatap pantulan itu, lalu berkata, “Aku bukan murahan. Aku hanya perempuan yang pernah jatuh. Tapi kini aku bangkit.”

BACA JUGA:Kisah Nyata: Aku Bukan Murahan, Hanya Terpaksa

Saat itu aku sadar, luka bukan untuk disembunyikan. Luka ada agar kita belajar sembuh, agar kita bisa menjadi versi terbaik dari diri kita yang pernah hancur.

Tiga bulan kemudian, aku membuka kios kecil menjual kue kering dan kerajinan tangan. Sebagian dibantu oleh pelatihan, sebagian lagi dari dana Arga. Tapi semuanya kujalani dengan keringatku sendiri. Pelan-pelan, aku mengembalikan utuh harga diriku yang dulu pernah tercerai.

Aku juga mulai berbicara di komunitas perempuan yang pernah mengalami hal sama. Bercerita bukan untuk mengungkit luka, tapi agar perempuan lain tahu—bahwa mereka tidak sendiri.

Dan Arga? Ia tetap di sana, berdiri di belakangku, bukan sebagai penyelamat, tapi sebagai teman seperjalanan.

Suatu malam, ketika kiosku sepi dan langit Jakarta penuh bintang, ia bertanya pelan, “Kalau aku melamar kamu sekarang... kamu terima?”

Aku menatapnya. Lalu tersenyum, tulus. “Aku belum siap menikah, Ga. Tapi kalau kamu tanya apakah aku mencintaimu... iya. Dengan cara yang paling jujur.”

Kami tertawa kecil. Bahagia. Damai.

Kini, aku bukan lagi perempuan yang duduk di pinggir ranjang dengan air mata mengalir diam-diam. Aku bukan lagi perempuan yang merasa harus menjual dirinya demi hidup.

Aku adalah Sonya—seorang perempuan yang pernah terluka, pernah terjatuh, tapi memilih untuk bangkit dan melangkah.

Aku bukan murahan.

Aku hanya terpaksa. Dulu.

Tapi sekarang, aku bebas. (djl) TAMAT

 

 

Sumber:

Berita Terkait