“Pendangkalan alur ini sudah tentu menimbulkan dampak ekonomi yang serius bagaimana pasokan BBM bisa terhambat dan bagaimana warga Pulau Enggano menjerit karena kapal tidak bisa berlayar,” katanya.
Sementara dampak limbah abu pembakaran batubara atau FABA mengakibatkan sumur warga Air Sebakul Kota Bengkulu diduga tercemar.
Dosen Universitas Bengkulu, Liza Lidiawati,S.Si., M.Si memaparkan hasil uji laboratorium terhadap enam sampel air menunjukkan kadar Chemical Oxygen Demand (COD) jauh melebihi baku mutu yang ditetapkan, yaitu 10 mg/L. Sampel dari sumur galian mencatatkan nilai tertinggi sebesar 128 mg/L, sementara sumur bor menunjukkan 32 mg/L. Bahkan, air dari genangan di sekitar lokasi warga mencapai 192 mg/L, mengindikasikan pencemaran serius.
Akademisi UMB, Aan Zulyanto, S.E., M.Si mengatakan bahwa berdasarkan studi tim peneliti partisipatif menyimpulkan bahwa dampak lingkungan akibat operasi PT Tenaga Listrik Bengkulu tidak dapat dikendalikan perusahan sebagaimana seharusnya dijawab dengan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi menyeluruh dokumen AMDAL untuk memastikan dampak yang diidentifikasi dan diantisipasi.
BACA JUGA:Primaya Hospital Raih Penghargaan The Best Contact Center Indonesia 2025
BACA JUGA:Integrasi Moda di Stasiun Dukuh Atas BNI Dorong Pertumbuhan Pengguna LRT Jabodebek
Pessi Apriani, warga korban SUTT di Desa Padang Kuas mengatakan, sejak awal beroperasi pada tahun 2019 tidak ada sosialisasi dampak jaringan SUTT tersebut kepada warga.
“Kami tidak pernah diberitahu dampaknya dan kami sudah melaporkan apa yang kami alami kepada perusahaan dan pemerintah tapi tidak ada tindakan yang mampu menjawab keresahan masyarakat,” kata Pessi.