Kisah Nyata: Dari Pelayan Warung ke Perempuan Bayaran (Bagian 2)

Senin 21-04-2025,15:30 WIB
Reporter : juliirawan
Editor : juliirawan

Reporter: Juli Irawan

Radarseluma.disway.id - Malam itu aku merasa seperti tersesat dalam gelap. Matahari sudah tenggelam, tetapi dunia sekelilingku terasa jauh lebih gelap daripada yang pernah kutahu. Gaun hitam yang kupakai bukan hanya mengubah penampilanku, tetapi juga seolah mengubah cara pandangku terhadap hidup. Dalam kaca cermin yang memantulkan gambarku, aku tidak lagi melihat Rina yang penuh harapan dan impian, tetapi seseorang yang asing seseorang yang terpaksa menanggalkan semuanya demi bertahan hidup.

Mira datang menjemput ku, wajahnya penuh keyakinan. Dia tersenyum seakan mengetahui apa yang sedang kurasakan. "Jangan khawatir, Dek. Semua ini hanya langkah pertama. Kamu akan terbiasa," katanya, suaranya menenangkan, meski aku tahu dalam hatiku sendiri bahwa aku sedang menuju sesuatu yang tak bisa kembali.

Kami naik taksi menuju sebuah hotel mewah di pinggiran kota. Sepanjang perjalanan, pikiranku kosong, hanya dipenuhi suara detak jantung yang semakin keras. Aku tak bisa berhenti membayangkan adik-adikku yang sedang tidur, dan ibuku yang menunggu dengan penuh harap di rumah. Tapi dalam hatiku, ada keraguan yang menggerogoti. Semua yang ku korbankan untuk keluarga, apakah akan sia-sia?

BACA JUGA:Kisah Nyata: Dari Pelayan Warung ke Perempuan Bayaran (Bagian 1)

Setibanya di hotel, Mira mengantarku ke sebuah ruang VIP yang dihiasi dengan lampu temaram. Seorang pria sudah menunggu di dalam. Wajahnya tidak asing—Rio, pria yang kami temui di kafe beberapa hari sebelumnya. Ia tersenyum ramah, tapi aku merasakan ketegangan di udara. Jantungku berdebar tak karuan.

Mira membimbingku masuk dan memperkenalkan aku kepada Rio dengan suara yang begitu meyakinkan. "Ini Rina. Dia baru pertama kali, tapi kamu jangan khawatir. Dia bisa menyesuaikan diri kok," kata Mira sambil melirikku dengan penuh arti. Aku hanya bisa tersenyum canggung.

Pria itu, Rio, berdiri dan menyapaku dengan hangat, menawarkan tangan untuk berjabat. "Senang bertemu denganmu, Rina. Mira bilang kamu orang yang baik," katanya dengan nada tenang, hampir seperti seorang teman lama. Aku menggenggam tangannya dengan ragu, merasa jantungku hampir terlepas dari dadaku.

Setelah beberapa percakapan ringan, Rio mengajak kami duduk. Mira mempersilakan aku duduk di sampingnya, sementara Rio memilih kursi yang agak jauh, memberi kami ruang untuk berbicara. Mira menyarankan agar aku menikmati minuman yang disediakan. “Tenang saja, Dek. Kamu cuma perlu bersantai,” katanya, meski suaranya terdengar penuh motivasi yang sulit kuterima.

BACA JUGA:Terdakwa Pembunuh Anggota Polres Seluma, Divonis 5 Tahun Penjara

Aku duduk dengan canggung, mencoba menenangkan diriku. Percakapan mengalir, namun aku tak benar-benar mendengarkan kata-kata Rio. Pikiran dan perasaanku terombang-ambing. Semua yang terjadi terasa seperti mimpi buruk yang tak bisa aku hentikan. Aku bertanya-tanya, apakah aku telah melakukan kesalahan yang tak akan bisa diperbaiki?

Setengah jam berlalu, Mira tersenyum dan mengangguk. "Sekarang, waktunya kamu berdua melanjutkan ke bagian berikutnya," katanya dengan penuh arti. Rio berdiri dan menatapku, memberi isyarat agar aku mengikuti langkahnya ke kamar yang telah disiapkan. Aku terdiam, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Namun, Mira menatapku dengan pandangan yang penuh harapan. "Jangan khawatir, Dek. Ini adalah langkah pertama. Semua orang melaluinya."

Aku mengangguk pelan, namun tubuhku terasa seperti beban yang semakin berat. Akhirnya, aku melangkah juga.

Malam itu, aku tidak tahu apakah aku merasa kosong atau penuh dengan kebingungan. Ketika aku keluar dari kamar hotel itu, aku merasa seperti kehilangan bagian dari diriku sendiri. Namun, ada satu hal yang jelas dalam pikiranku: aku tidak bisa mundur. Semua yang kulakukan malam itu, aku lakukan demi keluarga demi ibuku yang membutuhkan obat, adik-adikku yang butuh sekolah, dan rumah yang semakin rapuh. Semua itu berharga lebih daripada harga diriku.

Ketika kembali ke kos, Mira memelukku, meyakinkanku bahwa semuanya akan baik-baik saja. "Kamu telah membuat keputusan yang tepat, Rina. Dunia ini keras, tapi kamu harus kuat," katanya.

Namun, di dalam hati, aku tak tahu apakah aku benar-benar bisa menjadi kuat setelah malam itu. Semua terasa kabur, seolah aku telah masuk ke dalam jurang yang tak akan pernah bisa kutemukan jalan keluarnya.

Bersambung ke Bagian 3: “Di Ambang Kehilangan” (djl)

Kategori :