"Saya tidak ada hentinya nangis. Tidak kuat sebenarnya, tapi karena ingat misinya membawa bendera merah putih untuk finis, ya saya kuat-kuatin dan akhirnya bisa tercapai," ujarnya.
Ia merasa kuat karena dukungan dan doa dari semua pihak. Dari orang tua maupun semua teman-temannya. "Juga doa orang-orang yang saya temui di jalan," imbuhnya.
"Cobaanya ngeri sekali, saya merasa kecil di sini. Semua karena Allah saya bisa finis dan membawa nama Indonesia, menjadi salah satu finisher di acara paling sulit di dunia ultra cycling ini," ungkapnya.
Perjalanan Dzaki di TABR memang penuh dengan tantangan. Bahkan ia mengaku nyaris mati ketika tak kuat menahan cuaca ekstrem saat menanjak di pegunungan di Colorado. Ketika itu Dzaki disambut hujan es.
Sejak awal, cyclist asal Tangerang itu memang mengaku tantangan tersulit mengikuti TABR adalah cuaca. Tidak mudah bagi orang dari negara tropis mengikuti event ultra cycling dengan cuaca yang dinginnya ekstrem.
Tak hanya itu, perbedaan kultur juga ia rasakan. Ujian ketahanan mengikuti event ultra cycling di Indonesia dan di luar negeri jauh berbeda. Cyclist Indonesia yang mengikuti event ultra cycling di luar negeri harus pandai mengatur strategi perbekalan. Sebab tidak seperti di Indonesia yang di sepanjang rute ada warung atau swalayan.
Dzaki juga harus pintar-pintar mengatur strategi menginap. Awalnya ia sempat ingin istirahat di tempat-tempat seadanya, sekalian itu outdoor. Namun dengan tantangan cuaca, strategi itu ia batalkan.
Dzaki akhirnya memilih banyak beristirahat di motel. Itu pun ia tak bisa leluasa memilih. Tentu pertimbangan utama Dzaki adalah lokasi penginapan harus tidak boleh jauh dari rute TABR.
Beruntung Dzaki tak sendiri. Selama menjalani tantangan “menaklukkan Amerika”, Dzaki Wardana banyak disupport para warga negara Indonesia (WNI) di Amerika Serikat.
Bahkan dukungan itu mengalir sejak Dzaki mendarat di Amerika Serikat, awal Juni lalu. Tak hanya disambut, para WNI di Seattle membantu menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan Dzaki. Mulai dari mencari rute pemanasan, mencari peralatan tambahan, hingga mengurus barang-barang Dzaki yang ditinggal di Seattle, sebelum memulai perjalanannya di TABR.
Pun demikian di titik finis. Banyak WNI yang tinggal di Virginia maupun di sekitarnya turut menyambut Dzaki. Juga menyiapkan hal-hal yang dibutuhkan Dzaki.
Gatut Ahmadi misalnya. Pria yang menetap di daerah Virginia Utara itu pun membawakan nasi rames spesial untuk Dzaki. Nasi rames untuk Dzaki itu berisi ikan goreng, tempe cabe hijau, dan lalapan. "Yang masak istri saya sendiri.
Gatut bersama sejumlah sahabat-sahabat WNI bahkan rela menunggu Dzaki hingga dini hari. Ada Haris Koentjoro, Sonny, Gunawan Ardiwidjaja, Djaya Hasran, Ratna Cary, dan sejumlah perwakilan dari KBRI Washington. Mereka terlihat guyup menunggu Dzaki di pinggir jalan. Ada yang membawa van besar yang di dalamnya bisa dibuat tidur.
"Rencana nanti saya akan bawa mas Dzaki tinggal di rumah saya sampai saat harus meninggalkan DC. Saya dengar Dubes RI Pak Rosan Roeslani juga akan menemui Mas Dzaki. Warga Indonesia yang aktif bersepeda di sini juga ingin mengadakan semacam meet and greet," kata Ratna.(*)