Wanita Mandiri Tanpa Pernikahan: Mengungkap Tradisi Unik Suku Mosuo di Pegunungan Yunnan, Tiongkok"
Radarseluma.disway.id - Wanita Mandiri Tanpa Pernikahan: Mengungkap Tradisi Unik Suku Mosuo di Pegunungan Yunnan, Tiongkok"--
Reporter: Juli Irawan
Radarseluma.disway.id -Di sudut barat daya Tiongkok, tepatnya di kawasan Pegunungan Yunnan yang memukau, hidup sebuah komunitas masyarakat yang telah lama menarik perhatian para peneliti sosial dan antropolog dunia. Mereka adalah suku Mosuo, sebuah masyarakat kecil yang memelihara gaya hidup dan struktur sosial yang sangat berbeda dari kebanyakan masyarakat patriarkal dunia. Suku ini dikenal karena sistem kekerabatan matrilineal yang unik, serta sebuah tradisi yang oleh banyak pihak dianggap revolusioner tradisi "pernikahan berjalan" atau "walking marriage", di mana hubungan antara laki-laki dan perempuan dijalankan tanpa ikatan pernikahan formal.
Di tengah arus globalisasi dan modernisasi yang menggerus banyak kebudayaan lokal, Mosuo tetap menjaga adat mereka dengan teguh. Tradisi ini telah diwariskan dari generasi ke generasi, membentuk sebuah masyarakat di mana wanita menjadi pusat kehidupan, dan konsep keluarga serta cinta memiliki dimensi yang jauh berbeda dari yang biasa dikenal dunia.
Kehidupan Sosial dan Tradisi Matrilineal
Suku Mosuo tinggal di sekitar Danau Lugu, yang berbatasan antara Provinsi Yunnan dan Sichuan. Populasi mereka tidak lebih dari 40 ribu jiwa. Yang membuat mereka menonjol adalah struktur keluarga yang sepenuhnya matrilineal garis keturunan ditarik dari ibu, bukan dari ayah. Anak-anak tinggal bersama ibu, nenek, dan saudara-saudara dari garis ibu. Para pria tidak tinggal bersama istri dan anak-anak mereka, melainkan tetap berada di rumah ibu mereka sendiri.
Dalam keluarga Mosuo, perempuan memiliki peran utama dalam pengambilan keputusan, pewarisan harta, dan pengasuhan anak. Laki-laki menjalankan fungsi sebagai paman bagi anak-anak dari saudari mereka, bukan sebagai ayah yang konvensional. Mereka mendidik dan membimbing keponakan mereka, bukan anak biologis mereka sendiri.
Tradisi ini bukanlah hasil dari ketidakpedulian terhadap peran ayah, namun justru merupakan bentuk keteraturan sosial yang memberikan stabilitas dan kejelasan dalam garis keturunan — karena ibu dari seorang anak selalu jelas, sementara ayah bisa jadi tidak pasti. Sistem ini menghapus konsep perceraian, karena pernikahan formal tidak pernah terjadi.
BACA JUGA:Taubat Sang Pemakan Jantung: Kisah Hindun binti Utbah yang Mendapat Ampunan Allah
Walking Marriage: Cinta Tanpa Pernikahan
Salah satu tradisi paling menarik dari Mosuo adalah konsep "Walking Marriage" (zou hun 走婚), yang dapat diterjemahkan sebagai "pernikahan berjalan". Dalam praktik ini, seorang wanita dewasa dapat memilih pasangannya secara bebas. Laki-laki akan mengunjungi wanita pada malam hari dan kembali ke rumah ibunya pada pagi harinya. Hubungan ini bersifat rahasia, sopan, dan tidak memiliki kewajiban sosial seperti pernikahan pada umumnya.
Yang unik, wanita dapat memiliki lebih dari satu pasangan sepanjang hidupnya, dan begitu pula sebaliknya. Tidak ada kontrak atau ikatan hukum. Jika hubungan tidak lagi diinginkan, maka cukup berhenti. Tidak ada istilah perceraian, tidak ada perebutan hak asuh anak, dan tidak ada pembagian harta gono-gini.
Meskipun terdengar bebas secara seksual, komunitas Mosuo memiliki kode etik dan kesopanan yang tinggi. Hubungan tidak dilakukan secara terang-terangan, dan setiap kunjungan malam dilakukan dengan tenang, penuh rasa hormat terhadap keluarga si wanita.
Wanita Mandiri dan Kekuatan Sosial
Sistem ini membentuk perempuan Mosuo menjadi sosok mandiri, kuat, dan bertanggung jawab. Mereka tidak hanya memimpin keluarga, tetapi juga menjalankan ekonomi rumah tangga, mengurus pertanian, memelihara anak-anak, dan bahkan menjadi kepala desa. Wanita Mosuo tidak bergantung pada laki-laki dalam urusan ekonomi, sosial, maupun emosional.
Sumber: